Rabu, 07 Desember 2011

KARYA SENI BIDADARI DIANTARA DUA ZAMAN


Oleh : SUSASRITA LORA VIANTI S. Sn., M. Sn
Publisher : Ayurizal S.Sn 
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Karya ini berangkat dari berbagai pengalaman dan pengamatan terhadap perempuan Minangkabau masa kini. Berbagai gejala perubahan dan pergeseran nilai yang terjadi sebagai keniscayaan zaman, telah membuat perempuan Minang berada di antara bayang-bayang masa lalu dan kekinian yang sepertinya nyaris tak terdamaikan.
Adat Minangkabau, menjelaskan posisi perempuan sebagai “limpapeh rumah gadang”. Dalam pengertian tersebut, perempuan dapat diartikan sebagai penjaga dan sekaligus perhiasan Rumah Gadang. Rumah Gadang sendiri pada hakikatnya adalah simbol eksistensi ‘kaum’ yaitu keluarga yang se-suku. Adapun hubungan kekeluargaan ini diangun atas dasar garis keturunan ibu ( matrilineal ), yang dalam berbagai pembicaraan disebut-sebut sebagai ciri unikum masyarakat Minangkabau.
Reproduksi wacana semacam itu, tetap berlansung hingga kini dalam berbagai pembicaraan, baik yang berlatar belakang adat maupun lingkungan kaum. Pun demikian pula, dalam berbagai pengajaran terhadap generasi yang lebih muda, secara formal maupun tidak. Wacana itu, digunakan sebagai bagian dari proses pewarisan suatu sistem nilai yang disebut Adat Minangkabau.
Pada praktik adat, di atas Rumah Gadang, terutama pada berbagai upacara, eksistensi perempuan disimbolkan dalam sebuah institusi bernama Bundo Kanduang. Institusi ini, sesungguhnya memiliki peran normatif, tempat berbagai persoalan di dalam kaum mendapatkan pertimbangan dan saran. Namun setelah itu, eksekusi tetap di tangan laki-laki yaitu para penghulu kaum.
Tentu saja, syarak ( Syariat Islam ) adalah latar belakang ideologis pula dari keadaan yang demikian. Adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, yang selalu diwacanakan sebagai anasir adat Minangkabau, menjadi referensi bagi posisi perempuan di dalam adat. Jika dilihat dari sudut pandang syarak, jelas bahwa pada fitrahnya, perempuan adalah ‘istri’ para laki-laki, pendamping, pelengkap bahkan memang eksplisit dinyatakan sebagai “sebaik-baiknya perhiasan”, bagi lelaki, yang fitrahnya adalah ‘pemimpin’. Namun demikian, ia memiliki tempat yang mulia, baik sebagai ibu, maupun sebagai istri. Berbagai dalil, aqli maupun naqli dapat pula diajukan untuk menguatkan pernyataan ini.
Perempuan Minangkabau masa kini, secara kasat mata terlihat seperti perempuan di berbagai tempat lainnya. Mereka telah keluar dari kungkungan wilayah domestik dan mulai mengambil peranan yang penting dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, budaya juga politik. Nyaris telah tidak ada ranah di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau masakini yang tidak dimasuki kaum perempuan. ‘Wanita karir’, meskipun tidak pernah diverbalkan, sebenarnya adalah hal yang telah lama populer dalam masyarakat. Dibuktikan dengan banyaknya perempuan Minangkabau masakini yang memiliki posisi di berbagai sektor pekerjaan dari buruh, guru, manager, direktur hingga anggota badan legislatif.
Sehingga di ‘luar rumah’ posisi perempuan dan laki-laki sebenarnya tidak pernah terlihat berbeda lagi. Namun di balik itu, cara berfikir patriarki sesungguhnya tetap laten dalam diri setiap orang dalam masyarakat Minangkabau. Di lingkungan pekerjaannya, maupun dalam lingkungan keluarga, perempuan tetap menghadapi banyak persoalan dengan pengembangan dirinya. Kaum perempuan masih senantiasa diidentikkan dengan kelemahan dan kelambanan, anggapan yang tentu saja segera dapat dikaitkan dengan kecendrungan patriarki itu.
Demikian pula halnya di hadapan adat. Meskipun perangkat-perangkat adat tidak lagi terlalu ketat mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau, karena menguatnya posisi negara, namun pada tingkatan domestik adat tetap menjadi referensi nilai yang dominan. Ungkapan-ungkapan “pado adatnyo( harfiah: pada adatnya ), “manuruik adat”, “sepanjang adat yang masih sering digunakan dalam berbagai percakapan, dapat dilihat sebagai dominasi itu. Berdasarkan hal itu, perempuan tetap saja ‘pada adatnya’ berada pada wilayah yang tersubordinatkan.
Jika pun ada perempuan Minangkabau masa kini yang berhasil keluar dari ‘jebakan’ itu, persoalan tidak segera selesai. Pada tataran personal, ia harus berkonflik dengan dirinya sendiri ketika harus memutuskan antara dirinya dan keluarga. Tetap saja, sebagian besar di antara perempuan Minangkabau masakini, memilih untuk melakukan ‘bunuh diri’ eksistensial ketika menghadapi hal tersebut. Mereka meninggalakan ‘karir’ yang telah dicapai dan merelakan dirinya sepenuhnya menjadi milik’ anak-anak dan suami, ketimbang bagi dirinya sendiri. Tentu saja, ini sebuah indikasi bahwa cara berfikir yang konon, patriarki tersebut tetap hidup bahkan dalam diri perempuan. Bahwa karena ia mengandung, melahirkan dan menyusui, maka secara alamiah, ia ditakdirkan untuk ( hanya ) berada di ‘rumah’.
Sementara itu, seperti di berbagai tempat, wacana gender juga kemudian menerobos masuk ke dalam peri kehidupan masyarakat Minangkabau. Berbagai media propaganda yang layak bertanggungjawab atas hal itu tentunya adalah televisi, media massa cetak, buku referensi, maupun Internet. Pembicaraan mengenai gender kemudian juga mulai seringkali terdengar secara formal ataupun informal, di ruang publik bahkan hingga ke ‘bilik’. Tentu saja, dengan beragam pemaknaan yang  seringkali menimbulkan polemik di berbagai tataran.
Mempersoalkan dominasi laki-laki atas berbagai segi kehidupan seperti yang seringkali menjadi substansi pembicaraan tentang gender itu, seringkali harus berhadap-hadapan pula dengan adat dan syarak yang keduanya senantiasa dianggap berjalan bersama. Usaha untuk menyetarakan perempuan dan laki-laki di Minangkabau pada akhirnya terhenti sebagai ( sekadar ) wacana jika sudah berhadapan dengan praktik adat.
Kecendrungan untuk melakukan generalisasi persoalan adalah sisi lain yang membuat ‘wacana’ ini mandul. Dalam paradigma Adat Minangkabau, perempuan telah diberi porsi tersendiri secara simbolis dalam insitusi “Bundo Kanduang dan bahkan dalam sebuah proses pewarisan yang matrilenalitu. Hal ini sudah lama, berurat-berakar menjadi justifikasi dari keadilan Adat Minangkabau terhadap perempuan. Jika pun terjadi ketidakadilan dalam lingkungan keluarga seperti kekerasan terhadap perempuan, adat justru menjadi referensi dan bahkan medium untuk mendapatkan keadilan. Suatu hal yang tentu saja, justru memperlihatkan supremasi adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Apalagi, karena pembicaraan perihal itu hanya dilakukan di ruang-ruang yang sebenarnya tidak vital bagi konstalasi adat semisal ruang kuliah, ruang seminar atau bahkan di lobi hotel. Tidak pernah terjadi, pembicaraan mengenai itu diadakan di lingkungan yang lebih dekat dengan adat misalnya di Rumah Gadang. Impresi yang dihasilkan justru bahwa ‘kesetaraan gender’ bagi masyarakat Minangkabau adalah soal yang artifisial, wacana yang ( seolah-olah ) tidak memiliki basis faktual. Kenyataannya, perempuan Minangkabau tetap saja hidup, menjadi bagian dari suatu sistem yang patriarkhi, di mana kaum laki-laki lah yang sejatinya menjadi subjek dalam berbagai ranah dan membuat kebijakan, sedangkan perempuan adalah ‘tuan’ di ranah domestik belaka. Bagi para perempuan Minangkabau secara umum, hal tersebut sebenarnya telah diterima sebagai sesuatu yang fitrah sifatnya. Dan wacana kesetaraan gender, tidak pernah berhasil melakukan penetrasi ke dalam wilayah kesadaran ini.
Kaba yaitu sastra lisan yang berkembang secara tradisional dalam masyarakat Minangkabau, memuat banyak inspirasi tentang posisi perempuan. Di dalamnya, terdapat banyak pencitraan tentang ‘manusia’ Minangkabau dan tentu saja juga pencitraaan perempuannya. Setiap perempuan Minangkabau dapat menemukan ‘identifikasi’ dirinya dalam ‘kaba’. Banyak versi kaba yang menceritakan perempuan, meski hanya pada beberapa bagian saja. Tokoh sentral yang menjadi energi cerita dalam kaba pada dasarnya adalah tokoh laki-laki.
Tokoh-tokoh ‘kaba’, seperti Gondan Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih pada dasarnya harus mencuri bagiannya masing-masing dalam kaba yang bukan tentang dirinya. Gondan Gandoriah mengambil bagian dalam cerita Anggun Nan Tongga, Puti Bungsu mengambil bagian dalam cerita Cinduo Mato dan Sabai Nan Aluih mengambil bagian dalam cerita Rajo Babandiang, meski kaba itu ( seolah-olah ) bicara tentang Sabai. Namun yang jelas, kaum laki-lakilah yang lazimnya meninggalkan rumah dan melaksanakan tugas kesejarahannya, membayar hutang keluarga, menuntut balas atau bahkan menaklukkan negeri lain.
Namun demikian, setiap perempuan Minangkabau di dalam kaba menciptakan konflik untuk dirinya sendiri, mencuri bagian dari cerita. Tokoh-tokoh ‘kaba’ seperti Gondan Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih menemukan ‘identitas’ nya dalam sebuah konflik dengan meninggalkan kelaziman atas nama malu, dendam, ataupun cemburu. Gondan menolak dimadu, Puti Bungsu menerima pinangan orang lain dan Sabai membunuh laki-laki yang membunuh ayahnya. Semua perempuan Minangkabau yang disebut dalam kaba ataupun sejarah lisan ( tambo ) adalah perempuan yang berhasil menaklukkan kungkungan kebiasaan. Pembelajaran informal setiap perempuan Minangkabau terhadap ‘kaba’ menjadi inspirasi bahkan juga energi untuk meninggalkan kelaziman, merubah nasib dan keadaan.

B.     RUMUSAN MASALAH ( IDE DAN GAGASAN )        

 

Oleh sebab itu, maka masalah yang akan coba dijawab melalui proses penciptaan karya ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana mentransformasikan gagasan-gagasan tentang perempuan dari dunia kaba ke dalam komposisi tari dengan memberikan reinterpretasi yang sesuai dengan kekinian.
2.      Bagaimana mentransformasikan gagasan-gagasan dari berbagai genre pertunjukan tradisional Minangkabau ke dalam komposisi tari dengan tematik yang telah dipilih tersebut.
3.      Bagaimana mengekstraksikan karya-karya sebelumnya yang bertema sama ke dalam komposisi baru dengan melakukan reinterpretasi.

C.    TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENGGARAPAN


Melalui karya ini, pengkarya berharap dapat mewujudkan dan memberi sumbangan bagi dunia tari secara umum, antara lain:
1.      Menciptakan komposisi tari yang merupakan hasil transformasi gagasan-gagasan tentang perempuan dari dunia kaba dengan memberikan reinterpretasi yang sesuai dengan kekinian.
2.      Menciptakan komposisi tari yang merupakan hasil transformasi gagasan-gagasan dari berbagai genre pertunjukan tradisional Minangkabau dengan tematik yang telah dipilih tersebut.
3.      Menciptakan komposisi tari berdasarkan hasil ekstraksi atas karya-karya sebelumnya yang bertema sama dengan memberikan reinterpretasi.

D.    KAJIAN SUMBER PENCIPTAAN


1.      Kaba dan Perempuan Minangkabau
Kaba adalah sastra lisan yang berkembang secara tradisional dalam masyarakat Minangkabau. Di dalamnya terdapat banyak pencitraan tentang ‘manusia’ Minangkabau dan tentu saja juga pencitraaan perempuannya. Setiap perempuan Minangkabau dapat menemukan ‘identifikasi’ dirinya dalam ‘kaba’. Banyak versi kaba yang menceritakan perempuan meski hanya pada beberapa bagian saja. Tokoh sentral yang menjadi energi cerita dalam kaba pada dasarnya adalah tokoh laki-laki.
Tokoh-tokoh ‘kaba’ seperti Gondan Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih pada dasarnya harus mencuri bagiannya masing-masing dalam kaba yang bukan tentang dirinya. Gondan Gandoriah mengambil bagian dalam cerita Anggun Nan Tongga, Puti Bungsu mengambil bagian dalam cerita Cinduo Mato dan Sabai Nan Aluih mengambil bagian dalam cerita Rajo Babandiang, meski kaba itu ( seolah-olah ) bicara tentang Sabai. Namun yang jelas, kaum laki-lakilah yang lazimnya meninggalkan rumah dan melaksanakan tugas kesejarahannya, membayar hutang keluarga, menuntut balas atau bahkan menaklukkan negeri lain.
Demikian pula tokoh-tokoh Tambo seperti Indo Jati dan Puti Jamilan, masing-masing menemukan ‘kebenaran’ dan hakikat hidupnya dalam ‘keibuan’ masing-masing. Nyaris tak ada ‘peran penting’ yang dimiliki perempuan di dalam epos bertajuk “Tambo Minangkabau” itu, selain karena mereka melahirkan laki-laki yang kemudian menjadi pusat cerita. Tapi disanalah mereka mencuri bagian untuk diri mereka sendiri dari alur cerita. Dengan menjadi istri atau menjadi ibu.
Namun demikian, setiap perempuan Minangkabau di dalam kaba, menciptakan konflik untuk dirinya sendiri, mencuri bagian dari cerita. Tokoh-tokoh ‘kaba’ seperti Gondan Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih, menemukan ‘identitas’ nya dalam sebuah konflik dengan meninggalkan kelaziman atas nama malu, dendam ataupun cemburu. Gondan menolak dimadu, Puti Bungsu menerima pinangan orang lain dan Sabai membunuh laki-laki yang membunuh ayahnya. Semua perempuan Minangkabau yang disebut dalam kaba ataupun sejarah lisan ( tambo ) adalah perempuan yang berhasil menaklukkan kungkungan kebiasaan. Pembelajaran informal setiap perempuan Minangkabau terhadap ‘kaba’, menjadi inspirasi bahkan juga energi untuk meninggalkan kelaziman, merubah nasib dan keadaan.
2.      Perempuan Minangkabau dalam Sejarah
Namun sejarah sesungguhnya telah bicara dengan jelas perihal perjuangan kesetaraan perempuan dan laki-laki Minangkabau. Ada Mandeh Siti Manggopoh yang memilih perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Belanda. Ia menjadi pemimpin dari laskar perlawanan yang mayoritas laki-laki. Sesuatu yang tentunya tidak lazim di masa itu. Namun Siti Manggopoh mendrobrak ketidaklaziman itu dan kemudian menebus pilihannya itu dengan keseluruhan hidupnya, dipenjara dan meninggal dunia jauh dari masyarakat yang diperjuangkannya.
Lalu ada El Yunusiyah yang mendirikan Diniyah Putri, mendirikan sekolah untuk kaum perempuan sesuatu yang juga mungkin tidak lazim di masa itu. Namun demikian, ia berhasil mendirikan satu perguruan yang menjadi inspirasi banyak perguruan serupa di kemudian hari. Ternyata dengan keluar dari kelaziman, perempuan Minangkabau kemudian mengambil bagian dari sejarah.

3.      Perempuan Minangkabau di Pentas Tari

Demikian pula di pentas tari. Sejak beberapa dekade silam, perempuan Minangkabau telah mengambil posisi penting dalam perkembangan kesenian terutama tari. Padahal, secara adat, perempuan Minangkabau tidak lazim menjadi bagian dari sebuah pertunjukan kesenian karena dianggap menyalahi hukum adat dan agama. Kenyataannya, Huriyah Adam dan Gusmiati Suid berhasil keluar dari kelaziman itu dan bahkan menjadi dua ikon perempuan Minangkabau di percaturan tari daerah maupun nasional.
Kondisi itu juga terbukti tidak serta merta membuat mereka meninggalkan Adat Minangkabau, bahkan identitas itu tetap kuat dan melekat dalam karya-karya mereka. Pun, pilihan itu tidak membuat mereka kehilangan vitalitasnya di lingkungan domestik keluarga. Keduanya membuktikan bahwa pilihan ‘karir’ bukan halangan untuk tetap menjalankan ‘tugas yang fitrah’ sebagai perempuan itu. Keduanya telah pula menjadi inspirasi bagi banyak seniman perempuan hingga kini.
4.      Tari Adok
Tari Adok berkembang sebagai tradisi pertunjukan tradisional di nagari Saniang Baka dan Paninggahan, Solok, Sumatera Barat. Tari ini dinamakan sebagai tari Adok karena dalam pertunjukannya berpartner dengan musik yang dihasilkan dari sebuah instrumen bernama Adok. Sehingga sebenarnya penamaan tari ini dalam masyarakat pendukungnya sendiri adalah sesuatu yang unik. Nama itu tidak berkaitan dengan gerak ataupun makna di balik tarinya sendiri.
Tari Adok dapat dipandang sebagai tarian yang dramatik dan sekaligus naratif. Tari ini bercerita tentang seorang bidadari yang mendendangkan anaknya tidur. Dendang ini sekaligus menjadi partner di sepanjang tari. Pada visualnya, Tari Adok menggambarkan perempuan yang menjadi rebutan laki-laki. Tiga orang penari yang menarikan tari ini secara tradisional mewakili dua laki-laki dan satu perempuan.
5.      Silek
Tari Minangkabau memiliki basis gerak yang hampir sama yaitu berbagai varian gerak pencak silat yang lazim dinamakan Bungo Silek. Silek pada dasarnya adalah bela diri tradisional yang gerak-geraknya lebih praktis sesuai dengan tujuan beladiri. Terdapat demikian banyak aliran dalam silek yang masing-masingnya mengambil inspirasi gerak dari alam. Namun kemudian, silek dikembangkan menjadi sejenis pertunjukan yang meski tetap berbasis pada kebutuhan beladiri, juga mengakomodir kebutuhan kebutuhan keindahan dan pertunjukan yang dinamakan Bungo Silek tersebut.

6.      Koreografi: “Perempuan Dalam Kaba”

“Perempuan Dalam Kaba” adalah judul koreografi yang berangkat dari kaba Anggun Nan Tongga. Kaba yang telah berulang kali dipentaskan oleh pertunjukan randai tersebut kemudian diolah kembali dalam koreografi dengan memaksimalkan bahasa gerak dan visual. Selain itu, melalui transformasi ini, “Perempuan Dalam Kaba” memberi porsi lebih banyak kepada Gondan Gandoriah, tokoh perempuan yang di dalam versi kaba maupun randai hanya disinggung di beberapa bagian saja.
7.      Koreografi Terdahulu

8.      Tari Tradisional Minangkabau
Beberapa tari tradisional juga menjadi basis dari pengembangan gerak yang pernah digarap untuk menjadi sumber penciptaan. Di antaranya adalah:  Tari Piriang, Tari Benten dan Tari Alang Suntiang Pangulu. Masing-masing tari tradisional tersebut memiliki kekhasan vokabuler gerak yang dapat dipakai untuk dikembangkan menjadi ungkapan baru yang mengakomodir kebutuhan kekinian.

9.      Halaman Rumah Gadang Sebagai Ruang Publik

Halaman Rumah Gadang adalah ruang yang dimiliki bersama, baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan Minangkabau. Ketika sebuah kegiatan adat sedang berlangsung di atas Rumah Gadang, halaman Rumah Gadang menjadi tempat informal untuk menanggapi persoalan. Mereka-mereka yang menanggapi dari halaman Rumah Gadang ini, rata-rata adalah kaum perempuan. Tentu saja, tanggapan mereka tidak pernah ( akhirnya ) menjadi bagian dari kebijakan karena semuanya telah diputuskan di atas Rumah Gadang. Padahal, bukan tidak mungkin, tanggapan itu memiliki kearifan yang lebih baik.
Bersandar dari fenomena itu, halaman Rumah Gadang dieksplorasi sebagai sebuah ruang, dimana penari memberi respon dengan tubuhnya. Beberapa proses awal dari koreografi dilaksanakan di halaman Rumah Gadang untuk melihat berbagai kemungkinan koreo dan ruang. Demikian pula, halaman Rumah Gadang dipilih untuk menjadi ruang gelar bagi koreografi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar