Oleh : SUSASRITA LORA VIANTI S. Sn., M. Sn
Publisher : Ayurizal S.Sn
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Karya ini berangkat dari berbagai
pengalaman dan pengamatan terhadap perempuan Minangkabau masa kini. Berbagai
gejala perubahan dan pergeseran nilai yang terjadi sebagai keniscayaan zaman,
telah membuat perempuan Minang berada di antara bayang-bayang masa lalu dan
kekinian yang sepertinya nyaris tak terdamaikan.
Adat Minangkabau, menjelaskan
posisi perempuan sebagai “limpapeh rumah
gadang”. Dalam pengertian tersebut, perempuan dapat diartikan sebagai
penjaga dan sekaligus perhiasan Rumah
Gadang.
Rumah Gadang
sendiri pada hakikatnya adalah simbol eksistensi ‘kaum’ yaitu keluarga yang
se-suku. Adapun hubungan kekeluargaan ini diangun atas dasar garis keturunan
ibu ( matrilineal ), yang dalam berbagai
pembicaraan disebut-sebut sebagai ciri unikum masyarakat Minangkabau.
Reproduksi wacana semacam itu,
tetap berlansung hingga kini dalam berbagai pembicaraan, baik yang berlatar
belakang adat maupun lingkungan kaum. Pun demikian pula, dalam berbagai
pengajaran terhadap generasi yang lebih muda, secara formal maupun tidak.
Wacana itu, digunakan sebagai bagian dari proses pewarisan suatu sistem nilai
yang disebut Adat Minangkabau.
Pada praktik adat, di atas Rumah Gadang, terutama pada berbagai upacara, eksistensi perempuan disimbolkan
dalam sebuah institusi bernama Bundo Kanduang. Institusi ini,
sesungguhnya memiliki peran normatif, tempat berbagai persoalan di dalam kaum
mendapatkan pertimbangan dan saran. Namun setelah itu, eksekusi tetap di tangan
laki-laki yaitu para penghulu kaum.
Tentu
saja, syarak ( Syariat
Islam )
adalah latar belakang ideologis pula dari keadaan yang demikian. Adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, yang selalu
diwacanakan sebagai anasir adat Minangkabau, menjadi referensi bagi posisi
perempuan di dalam adat. Jika dilihat dari sudut pandang syarak, jelas bahwa
pada fitrahnya, perempuan adalah ‘istri’ para laki-laki, pendamping, pelengkap
bahkan memang eksplisit dinyatakan sebagai “sebaik-baiknya perhiasan”, bagi
lelaki, yang fitrahnya adalah ‘pemimpin’. Namun demikian, ia memiliki tempat
yang mulia, baik sebagai ibu, maupun sebagai istri. Berbagai dalil, aqli maupun
naqli dapat pula diajukan untuk menguatkan pernyataan ini.
Perempuan
Minangkabau masa kini, secara kasat mata terlihat seperti perempuan di berbagai
tempat lainnya. Mereka telah keluar dari kungkungan wilayah domestik dan mulai
mengambil peranan yang penting dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi,
budaya juga politik. Nyaris telah tidak ada ranah di dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau masakini yang tidak dimasuki kaum perempuan. ‘Wanita karir’,
meskipun tidak pernah diverbalkan, sebenarnya adalah hal yang telah lama populer
dalam masyarakat. Dibuktikan dengan banyaknya perempuan Minangkabau masakini
yang memiliki posisi di berbagai sektor pekerjaan dari buruh, guru, manager,
direktur hingga anggota badan legislatif.
Sehingga
di ‘luar rumah’ posisi perempuan dan laki-laki sebenarnya tidak pernah terlihat
berbeda lagi. Namun di balik itu, cara berfikir patriarki sesungguhnya tetap
laten dalam diri setiap orang dalam masyarakat
Minangkabau. Di lingkungan pekerjaannya, maupun dalam lingkungan keluarga,
perempuan tetap menghadapi banyak persoalan dengan pengembangan dirinya. Kaum
perempuan masih senantiasa diidentikkan dengan kelemahan dan kelambanan,
anggapan yang tentu saja segera dapat dikaitkan dengan kecendrungan patriarki
itu.
Demikian pula halnya di hadapan
adat. Meskipun perangkat-perangkat adat tidak lagi terlalu ketat mengatur
kehidupan masyarakat Minangkabau, karena menguatnya posisi negara, namun pada
tingkatan domestik adat tetap menjadi referensi nilai yang dominan.
Ungkapan-ungkapan “pado adatnyo” ( harfiah: pada adatnya ), “manuruik adat”, “sepanjang adat” yang masih sering
digunakan dalam berbagai percakapan, dapat dilihat sebagai dominasi itu. Berdasarkan hal itu,
perempuan tetap saja ‘pada adatnya’ berada pada wilayah yang tersubordinatkan.
Jika pun ada perempuan Minangkabau
masa kini yang berhasil keluar dari ‘jebakan’ itu, persoalan tidak segera
selesai. Pada tataran personal, ia harus berkonflik dengan dirinya sendiri
ketika harus memutuskan antara dirinya dan keluarga. Tetap saja, sebagian besar
di antara perempuan Minangkabau masakini, memilih untuk melakukan ‘bunuh diri’ eksistensial
ketika menghadapi hal tersebut. Mereka meninggalakan ‘karir’ yang telah dicapai
dan merelakan dirinya sepenuhnya menjadi ‘milik’
anak-anak dan suami, ketimbang bagi dirinya sendiri. Tentu saja, ini sebuah
indikasi bahwa cara berfikir yang konon, patriarki tersebut tetap hidup bahkan
dalam diri perempuan. Bahwa karena ia mengandung, melahirkan dan menyusui, maka
secara alamiah, ia ditakdirkan untuk ( hanya ) berada di ‘rumah’.
Sementara itu, seperti di berbagai
tempat, wacana gender juga kemudian menerobos masuk ke dalam peri kehidupan
masyarakat Minangkabau. Berbagai media propaganda yang layak bertanggungjawab
atas hal itu tentunya adalah televisi, media massa cetak, buku referensi,
maupun Internet. Pembicaraan mengenai gender kemudian juga mulai seringkali
terdengar secara formal ataupun informal, di ruang publik bahkan hingga ke
‘bilik’. Tentu saja,
dengan beragam pemaknaan yang seringkali
menimbulkan polemik di berbagai tataran.
Mempersoalkan dominasi laki-laki atas
berbagai segi kehidupan seperti yang seringkali menjadi substansi pembicaraan
tentang gender itu, seringkali harus berhadap-hadapan pula dengan adat dan syarak
yang keduanya senantiasa dianggap berjalan bersama. Usaha untuk menyetarakan
perempuan dan laki-laki di Minangkabau
pada akhirnya terhenti sebagai (
sekadar ) wacana jika sudah
berhadapan dengan praktik adat.
Kecendrungan untuk melakukan
generalisasi persoalan adalah sisi lain yang membuat ‘wacana’ ini mandul. Dalam
paradigma Adat
Minangkabau, perempuan
telah diberi porsi tersendiri secara simbolis dalam insitusi “Bundo Kanduang” dan bahkan dalam sebuah
proses pewarisan yang “matrilenal” itu. Hal ini sudah
lama, berurat-berakar menjadi justifikasi dari keadilan Adat Minangkabau terhadap perempuan.
Jika pun terjadi ketidakadilan dalam lingkungan keluarga seperti kekerasan
terhadap perempuan, adat justru menjadi referensi dan bahkan medium untuk
mendapatkan keadilan. Suatu hal yang tentu saja, justru memperlihatkan
supremasi adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Apalagi, karena pembicaraan perihal
itu hanya dilakukan di ruang-ruang yang sebenarnya tidak vital bagi konstalasi
adat semisal ruang kuliah, ruang seminar atau bahkan di lobi hotel. Tidak
pernah terjadi, pembicaraan mengenai itu diadakan di lingkungan yang lebih
dekat dengan adat misalnya di Rumah
Gadang.
Impresi yang dihasilkan justru bahwa ‘kesetaraan gender’ bagi masyarakat Minangkabau adalah soal
yang artifisial, wacana yang (
seolah-olah ) tidak memiliki basis
faktual. Kenyataannya, perempuan Minangkabau tetap saja hidup, menjadi bagian
dari suatu sistem yang patriarkhi, di mana kaum laki-laki lah yang sejatinya
menjadi subjek dalam berbagai ranah dan membuat kebijakan, sedangkan perempuan
adalah ‘tuan’ di ranah domestik belaka. Bagi
para perempuan Minangkabau secara umum, hal tersebut sebenarnya telah diterima
sebagai sesuatu yang fitrah sifatnya. Dan wacana kesetaraan gender, tidak
pernah berhasil melakukan penetrasi ke dalam wilayah kesadaran ini.
Kaba yaitu sastra lisan yang
berkembang secara tradisional dalam masyarakat Minangkabau, memuat banyak inspirasi
tentang posisi perempuan. Di dalamnya, terdapat banyak pencitraan tentang
‘manusia’ Minangkabau
dan tentu saja juga pencitraaan perempuannya. Setiap perempuan Minangkabau dapat
menemukan ‘identifikasi’ dirinya dalam ‘kaba’. Banyak versi kaba yang
menceritakan perempuan, meski hanya pada beberapa bagian saja. Tokoh sentral
yang menjadi energi cerita dalam kaba pada dasarnya adalah tokoh laki-laki.
Tokoh-tokoh
‘kaba’, seperti Gondan Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih pada dasarnya
harus mencuri bagiannya masing-masing dalam kaba yang bukan tentang dirinya.
Gondan Gandoriah mengambil bagian dalam cerita Anggun Nan Tongga, Puti Bungsu
mengambil bagian dalam cerita Cinduo Mato dan Sabai Nan Aluih mengambil bagian
dalam cerita Rajo Babandiang, meski kaba itu ( seolah-olah ) bicara tentang Sabai.
Namun yang jelas, kaum laki-lakilah yang lazimnya meninggalkan rumah dan
melaksanakan tugas kesejarahannya, membayar hutang keluarga, menuntut balas
atau bahkan menaklukkan negeri lain.
Namun
demikian, setiap perempuan Minangkabau di dalam kaba menciptakan konflik untuk
dirinya sendiri, mencuri bagian dari cerita. Tokoh-tokoh ‘kaba’ seperti Gondan
Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih menemukan ‘identitas’ nya dalam
sebuah konflik dengan meninggalkan kelaziman atas nama malu, dendam, ataupun
cemburu. Gondan menolak dimadu, Puti Bungsu menerima pinangan orang lain dan
Sabai membunuh laki-laki yang membunuh ayahnya. Semua perempuan Minangkabau
yang disebut dalam kaba ataupun sejarah lisan ( tambo ) adalah perempuan yang
berhasil menaklukkan kungkungan kebiasaan. Pembelajaran informal setiap perempuan Minangkabau
terhadap ‘kaba’ menjadi inspirasi bahkan juga energi untuk meninggalkan
kelaziman, merubah nasib dan keadaan.
B.
RUMUSAN MASALAH ( IDE DAN GAGASAN )
Oleh
sebab itu, maka masalah yang akan coba dijawab melalui proses penciptaan karya ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana mentransformasikan gagasan-gagasan
tentang perempuan dari dunia kaba ke dalam komposisi tari dengan memberikan
reinterpretasi yang sesuai dengan kekinian.
2.
Bagaimana mentransformasikan gagasan-gagasan
dari berbagai genre pertunjukan tradisional Minangkabau ke dalam komposisi tari
dengan tematik yang telah dipilih tersebut.
3.
Bagaimana
mengekstraksikan karya-karya sebelumnya yang bertema sama ke dalam komposisi
baru dengan melakukan reinterpretasi.
C. TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENGGARAPAN
Melalui
karya ini, pengkarya berharap dapat mewujudkan dan memberi sumbangan bagi dunia tari
secara umum, antara lain:
1.
Menciptakan komposisi tari yang merupakan hasil transformasi gagasan-gagasan
tentang perempuan dari dunia kaba dengan memberikan reinterpretasi yang sesuai
dengan kekinian.
2.
Menciptakan komposisi tari yang merupakan hasil transformasi gagasan-gagasan
dari berbagai genre pertunjukan tradisional Minangkabau dengan tematik yang
telah dipilih tersebut.
3.
Menciptakan komposisi
tari berdasarkan hasil ekstraksi atas karya-karya sebelumnya yang bertema sama dengan
memberikan reinterpretasi.
D. KAJIAN SUMBER PENCIPTAAN
1.
Kaba dan Perempuan
Minangkabau
Kaba
adalah sastra lisan yang berkembang secara tradisional dalam masyarakat Minangkabau. Di dalamnya terdapat banyak pencitraan
tentang ‘manusia’ Minangkabau dan
tentu saja juga pencitraaan perempuannya. Setiap perempuan Minangkabau dapat menemukan ‘identifikasi’ dirinya dalam
‘kaba’. Banyak versi kaba yang menceritakan perempuan meski hanya pada beberapa
bagian saja. Tokoh sentral yang menjadi energi cerita dalam kaba pada dasarnya
adalah tokoh laki-laki.
Tokoh-tokoh
‘kaba’ seperti Gondan Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih pada dasarnya
harus mencuri bagiannya masing-masing dalam kaba yang bukan tentang dirinya.
Gondan Gandoriah mengambil bagian dalam cerita Anggun Nan Tongga, Puti Bungsu mengambil bagian dalam cerita
Cinduo Mato dan Sabai Nan Aluih mengambil bagian dalam cerita Rajo Babandiang,
meski kaba itu ( seolah-olah ) bicara tentang Sabai. Namun yang jelas, kaum
laki-lakilah yang lazimnya meninggalkan rumah dan melaksanakan tugas
kesejarahannya, membayar hutang keluarga, menuntut balas atau bahkan
menaklukkan negeri lain.
Demikian
pula tokoh-tokoh Tambo seperti Indo Jati dan Puti Jamilan, masing-masing
menemukan ‘kebenaran’ dan hakikat hidupnya dalam ‘keibuan’ masing-masing.
Nyaris tak ada ‘peran penting’ yang dimiliki perempuan di dalam epos bertajuk
“Tambo Minangkabau” itu, selain karena mereka melahirkan laki-laki yang
kemudian menjadi pusat cerita. Tapi disanalah mereka mencuri bagian untuk diri
mereka sendiri dari alur cerita. Dengan menjadi istri atau menjadi ibu.
Namun
demikian, setiap perempuan Minangkabau di dalam kaba, menciptakan konflik untuk
dirinya sendiri, mencuri bagian dari cerita. Tokoh-tokoh ‘kaba’ seperti Gondan
Gandoriah, Puti Bungsu dan Sabai Nan Aluih, menemukan ‘identitas’ nya dalam
sebuah konflik dengan meninggalkan kelaziman atas nama malu, dendam ataupun
cemburu. Gondan menolak dimadu, Puti Bungsu menerima pinangan orang lain dan
Sabai membunuh laki-laki yang membunuh ayahnya. Semua perempuan Minangkabau
yang disebut dalam kaba ataupun sejarah lisan ( tambo ) adalah perempuan yang berhasil menaklukkan kungkungan kebiasaan.
Pembelajaran informal setiap perempuan
Minangkabau terhadap ‘kaba’, menjadi inspirasi bahkan juga energi untuk
meninggalkan kelaziman, merubah nasib dan keadaan.
2.
Perempuan Minangkabau
dalam Sejarah
Namun
sejarah sesungguhnya telah bicara dengan jelas perihal perjuangan kesetaraan
perempuan dan laki-laki Minangkabau. Ada Mandeh Siti Manggopoh yang memilih
perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Belanda. Ia menjadi pemimpin
dari laskar perlawanan yang mayoritas laki-laki. Sesuatu yang tentunya tidak
lazim di masa itu. Namun Siti Manggopoh mendrobrak ketidaklaziman itu dan
kemudian menebus pilihannya itu dengan keseluruhan hidupnya, dipenjara dan
meninggal dunia jauh dari masyarakat yang diperjuangkannya.
Lalu
ada El Yunusiyah yang mendirikan Diniyah Putri, mendirikan sekolah untuk kaum
perempuan sesuatu yang juga mungkin tidak lazim di masa itu. Namun demikian, ia
berhasil mendirikan satu perguruan yang menjadi inspirasi banyak perguruan
serupa di kemudian hari. Ternyata dengan keluar dari kelaziman, perempuan Minangkabau kemudian
mengambil bagian dari sejarah.
3. Perempuan Minangkabau di Pentas Tari
Demikian
pula di pentas tari.
Sejak beberapa dekade silam, perempuan Minangkabau telah mengambil posisi penting
dalam perkembangan kesenian terutama tari. Padahal, secara adat, perempuan Minangkabau tidak lazim
menjadi bagian dari sebuah pertunjukan kesenian karena dianggap menyalahi hukum
adat dan agama. Kenyataannya, Huriyah Adam dan Gusmiati Suid berhasil keluar
dari kelaziman itu dan bahkan menjadi dua ikon perempuan Minangkabau di
percaturan tari daerah maupun nasional.
Kondisi
itu juga terbukti tidak serta
merta
membuat mereka meninggalkan Adat
Minangkabau, bahkan
identitas itu tetap kuat dan melekat dalam karya-karya mereka. Pun, pilihan itu
tidak membuat mereka kehilangan vitalitasnya di lingkungan domestik keluarga.
Keduanya membuktikan bahwa pilihan ‘karir’ bukan halangan untuk tetap
menjalankan ‘tugas yang fitrah’ sebagai perempuan itu. Keduanya telah pula
menjadi inspirasi bagi banyak seniman perempuan hingga kini.
4.
Tari Adok
Tari Adok berkembang sebagai tradisi
pertunjukan tradisional di nagari Saniang Baka dan Paninggahan, Solok, Sumatera
Barat. Tari ini dinamakan sebagai tari Adok karena dalam pertunjukannya berpartner dengan musik yang
dihasilkan dari sebuah instrumen bernama Adok. Sehingga sebenarnya
penamaan tari ini dalam masyarakat pendukungnya sendiri adalah sesuatu yang
unik. Nama itu tidak berkaitan dengan gerak ataupun makna di balik tarinya
sendiri.
Tari Adok dapat dipandang sebagai
tarian yang dramatik dan sekaligus naratif. Tari ini bercerita tentang seorang
bidadari yang mendendangkan anaknya tidur. Dendang ini sekaligus menjadi partner di sepanjang tari.
Pada visualnya, Tari Adok menggambarkan perempuan
yang menjadi rebutan laki-laki. Tiga orang penari yang menarikan tari ini
secara tradisional mewakili dua laki-laki dan satu perempuan.
5. Silek
Tari Minangkabau memiliki basis gerak yang hampir
sama yaitu berbagai varian gerak pencak silat yang lazim dinamakan Bungo Silek. Silek pada dasarnya adalah bela
diri tradisional yang gerak-geraknya lebih praktis sesuai dengan tujuan
beladiri. Terdapat demikian banyak aliran dalam silek yang masing-masingnya mengambil inspirasi
gerak dari alam. Namun kemudian, silek dikembangkan menjadi sejenis pertunjukan
yang meski tetap berbasis pada kebutuhan beladiri, juga mengakomodir kebutuhan
kebutuhan keindahan dan pertunjukan yang dinamakan Bungo Silek tersebut.
6. Koreografi: “Perempuan Dalam Kaba”
“Perempuan
Dalam Kaba” adalah judul
koreografi yang berangkat dari kaba Anggun Nan Tongga. Kaba yang telah berulang
kali dipentaskan oleh pertunjukan randai tersebut kemudian diolah kembali dalam
koreografi dengan memaksimalkan bahasa gerak dan visual. Selain itu, melalui
transformasi ini, “Perempuan Dalam
Kaba” memberi porsi lebih banyak kepada Gondan Gandoriah, tokoh perempuan yang
di dalam versi kaba maupun randai hanya disinggung di beberapa bagian saja.
7. Koreografi Terdahulu
Beberapa koreografi yang pernah digarap
juga menjadi sumber penciptaan. Di antaranya adalah: “Memetik Api”, “Ulah
Padusi” dan “Kursi Meja dan Segelas Jus Yang Tumpah’. Masing-masing koreografi
tersebut yang juga bertemakan perempuan, dipakai sebagiannya
bahkan
diambil
beberapa geraknya yang telah dikembangkan dan dieksplorasi ulang, disesuaikan
dengan kebutuhan pertunjukan yang baru.
8. Tari Tradisional Minangkabau
Beberapa
tari tradisional juga menjadi
basis dari pengembangan
gerak yang pernah digarap untuk
menjadi sumber penciptaan. Di antaranya adalah:
Tari Piriang, Tari Benten dan Tari Alang
Suntiang Pangulu. Masing-masing tari tradisional tersebut memiliki kekhasan
vokabuler gerak yang dapat dipakai untuk dikembangkan menjadi ungkapan baru
yang mengakomodir kebutuhan kekinian.
9. Halaman Rumah Gadang Sebagai Ruang Publik
Halaman
Rumah Gadang adalah ruang yang
dimiliki bersama, baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan Minangkabau. Ketika sebuah
kegiatan adat sedang berlangsung di atas Rumah
Gadang,
halaman Rumah
Gadang
menjadi tempat informal untuk menanggapi persoalan. Mereka-mereka yang
menanggapi dari halaman Rumah
Gadang
ini, rata-rata adalah kaum perempuan. Tentu saja, tanggapan mereka tidak pernah
( akhirnya ) menjadi bagian dari
kebijakan karena semuanya telah diputuskan di atas Rumah
Gadang.
Padahal, bukan tidak mungkin,
tanggapan itu memiliki kearifan yang lebih baik.
Bersandar dari fenomena itu, halaman Rumah Gadang
dieksplorasi sebagai sebuah ruang, dimana penari memberi respon dengan
tubuhnya. Beberapa proses awal dari koreografi dilaksanakan
di halaman Rumah Gadang untuk
melihat berbagai kemungkinan koreo dan ruang. Demikian pula, halaman Rumah Gadang dipilih untuk menjadi ruang gelar bagi koreografi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar