Selasa, 06 Desember 2011

Yurisman, S.Sn, M.Si

Yurisman, S.Sn, M.Si
Publiser :Ayurizal. S,Sn


LAPORAN PENELITIAN
EKSISTENSI SANGGAR SENI PERTUNJUKAN
DALAM PARIWISATA BUDAYA DI KOTA BUKITTINGGI



BAB. I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Kota Bukittinggi sebagai salah satu daerah tingkat II di Propinsi Sumatera Barat, merupakan salah satu daerah tujuan wisata bagi masyarakat daerah sekitarnya, nasional bahkan mancanegara. Sejak tanggal 11 Maret 1984  pemerintahnya  mencetuskan dan menjadikan Bukittinggi sebagai kota pariwisata. Strategi pengembangannya diarahkan kepada kota wisata yang bersifat ‘agamis dan adat’ hal ini sesuai dengan falsafah masyarakat Minangkabau yaitu “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “. Pada awalnya yaitu tahun 1984 fasilitas pendukung pariwisata sangat terbatas, namun tekad dan usaha pemerintah Kota Bukittinggi dalam melengkapi fasilitas itu terus berjalan. Perencanaan dalam peningkatan sarana dan prasarana pariwisata tetap direncanakan dan dijalankan, seperti pelayanan wisata pada objek-objek yang menjadi andalan Kota Bukittinggi. Usaha-usaha tersebut merupakan perwujudan motto pariwisata Indonesia yang dikenal dengan ‘sapta pesona’, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan (Djohan, 2003:101).
            Kota Bukittinggi yang disebut juga kota wisata, sebagai daerah tujuan wisata sangat didukung oleh sumber daya alam serta aktifitas budaya lainnya. Dengan luas wilayah 25,239 Km2, dikitari oleh gunung, bukit dan ngarai (lembah) menambah indahnya pemandangan  sekitarnya. Kondisi ini yang mendorong masyarakat dari daerah lain terutama propinsi tetangga seperti Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan daerah lainnya datang ke daerah ini untuk berwisata. Sarana dan prasarana lain yang mendukung Bukittinggi sebagai kota wisata adalah adanya pusat-pusat wisata budaya di sekitarnya seperti bangunan bersejarah, pasar dan sentra kerajinan tradisional, museum, dan tempat/gedung pertunjukan kesenian tradisional.
            Untuk menghidupkan sektor pariwisata, ada lima bentuk wisata yang dikembangkan pemerintah kota Bukittinggi yaitu : wisata sejarah, wisata budaya, wisata alam, wisata konferensi dan wisata ‘pulang basamo’ (Djohan, 2003:102). Wisata sejarah mengetengahkan sejarah Bung Hatta, sejarah Jepang, sejarah perjuangan Tuangku Imam Bonjol dengan Belanda dan kerajaan Pagaruyung yang terletak tidak jauh dari Bukittinggi. Wisata budaya memunculkan budaya matriakat dengan rumah gadang, seni budaya Minangkabau, seni kerajinan khas Minangkabau dan seni pertunjukannya. Wisata alam, dengan mengajak wisatawan menikmati alam pegunungan, ngarai  Sianok dan danau Maninjau yang tidak jauh dari Bukittinggi. Wisata konferensi merupakan wisata yang baru dikembangkan, yaitu dengan memberikan peluang atau fasilitas untuk lembaga atau organisasi yang ingin melakukan pertemuan. Wisata ‘pulang basamo’, adalah paket wisata yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau yang ada diperantauan untuk pulang kekampung secara bersama. Dalam pulang basamo ini biasanya para perantau akan mengadakan acara yang menampilkan tari-tarian dan musik tradisional Minangkabau dengan mengundang sanggar seni pertunjukan untuk melepas rindu selama mereka berada di kampung halaman.
            Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Eksistensi Sanggar Seni Pertunjukan Dalam Pariwisata Budaya di Kota Bukittinggi”. Maka tulisan ini akan difokuskan pada kajian tentang eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi, khususnya eksistensi sanggar seni yang mengadakan pertunjukan di Gedung pertunjukan Medan Nan Balinduang.
Berdasarkan keputusan Walikota Bukittinggi No. 03 tahun 2002 tanggal 5 maret 2002 tentang pembentukan Kantor Pariwisata Seni dan Budaya yang mewadahi otonomi daerah dibidang pariwisata, maka disusunlah Rencana Strategis (Renstra) Kantor Pariwisata  Seni dan Budaya Kota Bukittinggi tahun 2002 – 2005. Penyusunan rencana strategis ini dimaksudkan untuk terciptanya komitmen dalam rangka mendorong partisipasi dan peran serta seluruh jajaran dan unsur masyarakat Kota Bukittinggi. Perumusan Visi dan Misi merupakan tujuan yang terluas dan terumus yang akan dicapai dan berperan untuk memberikan arah dan pedoman untuk terciptanya keterpaduan, kebersamaan dan tanggung jawab. Sekaligus renstra ini dimaksudkan untuk dapat memberikan dorongan, motivasi, pengembangan inisiatif dan kreativitas untuk mencapai keberhasilan. Kemudian berdasarkan visi  pembangunan pariwisata Kota Bukittinggi yaitu  : mewujudkan Kota Bukittinggi menjadi daerah tujuan wisata utama Indonesia Bagian Barat dengan menonjolkan aspek lokalitas (Adat, Agama, Seni dan Budaya daerah) serta sebagai Home base daerah tujuan wisata lainnya di Sumatera Barat dan Sumatera, baik untuk skala nasional maupun internasional dengan memiliki daya kompetitif yang tinggi, sedangkan misinya adalah : 
1.      Peningkatan pendapatan perkapita  masyarakat, PAD dan devisa Negara
2.      Peningkatan kualitas sumber daya manusia  (SDM)
3.      Pembangunan pariwisata yang berwawasan dan ramah lingkungan
4.      Penciptaan standarisasi produk pelayanan wisata
5.      Mendorong partisipasi dan dukungan kelembagaan
6.      Pemberdayaan kemampuan seluruh komponen pendukung pariwisata (Renstra Kantor Pariwisata Seni dan Budaya Kota Bukittinggi, 2002-2005:1-2).
            Merujuk kepada Renstra, Visi dan Misi tersebut di atas, tampaknya apa yang sudah direncanakan dalam renstra oleh Kantor Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Bukittinggi tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, antara rencana yang sudah ditetapkan dalam renstra  dengan pelaksanaannya di lapangan tidak sinergi. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam setiap pembangunan yang dilakukan, kesenjangan ini dapat dilihat pada aplikasinya di lapangan. Dalam aplikasinya ditemukan kendala-kendala dan permasalahan yang rumit dan hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan dengan pelaku pariwisata, terutama yang bergerak dalam bidang seni pertunjukan, ditemui beberapa masalah dalam usaha untuk melakukan dan meningkatkan pengembangan sektor pariwisata di Kota Bukittinggi di antaranya adalah : masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang profesional untuk mengelola pariwisata; sosialisasi dan promosi tentang potensi kepariwisataan khususnya wisata budaya sangat kurang; manajemen pengelolaan pariwisata belum baik; penataan objek-objek tujuan wisata belum memadai; dan pembinaan terhadap sanggar-sanggar seni belum maksimal. Hal ini sesuai dengan keterangan Yuliana Rahmadeni, 35 tahun, Pimpinan sanggar Saayun Salangkah (wawancara, 27 Februari 2010), mengatakan bahwa mereka para seniman sebagai pekerja seni yang bekerja dan tergabung dalam sanggar-sanggar seni pertunjukan belum mendapat perhatian dan pembinaan yang serius dari pemerintah, apalagi bantuan untuk modal usaha, bahkan karena kekurangan modal ada diantara pemilik sanggar yang terpaksa menjual sanggarnya kepada orang lain. Padahal kontribusi mereka terhadap pariwisata budaya khususnya seni pertunjukan dalam mengisi dan meramaikan kota Bukittinggi sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional sangat besar.
            Di Kota Bukittinggi terdapat 16 buah sanggar seni pertunjukan, tetapi hanya 5 buah sanggar seni pertunjukan yang aktif dalam mengisi acara setiap malamnya di Gedung Pertunjukan Medan Nan Balinduang. Tapi sarana dan prasarana gedung tidak tertata dengan baik sebagaimana layaknya sebuah gedung pertunjukan. Mereka sudah membagi jadwal pertunjukan setiap malamnya dan sudah punya komitmen dalam hal jumlah pembayaran/ harga minimal yang harus dibayarkan oleh sipemakai jasa. Ironisnya karena faktor ekonomi, diantara pemilik sanggar ada yang mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat, seperti masih menerima uang jasa dibawah ketentuan yang sudah disepakati bersama. Akibatnya,  persaingan yang tidak sehat terjadi di antara mereka,  Keadaan ini sampai sekarang masih dibiarkan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota bukittinggi.  
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran strategis tidak saja bagi pengembangan daerah tetapi juga untuk memajukan perekonomian masyarakat. Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja pada berbagai lini dengan jumlah besar. Fenomena ini juga dapat dicermati pada sektor pariwisata di Bukittinggi. Di satu sisi, daerah ini memiliki kawasan pariwisata dan seni budaya yang sudah terkenal sejak lama. Pemerintah daerah telah pula membuat renstra serta mencanangkan visi dan misi pembangunan pariwisata. Namun demikian, di sisi lain renstra serta visi dan misi yang telah dicanangkan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, tentu saja ada sesuatu yang kurang berjalan dan kurang berfungsi terkait dengan pengembangan sektor pariwisata di Kota Bukittinggi. Oleh sebab itu, penelitian ini dengan judul sebagaimana dikemukakan di atas perlu dilakukan dalam upaya mencari jawaban terhadap kendala-kendala yang dihadapi berkaitan dengan sektor pariwisata budaya terutama eksistensi para seniman yang tergabung dalam sanggar-sanggar seni pertunjukan di Kota Bukittinggi.
     
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan fenomena-fenomena eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dikemas dalam bentuk pertanyaan yaitu :
1.      Bagaimanakah eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi ?
2.      Apakah fungsi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi ?
3.      Apakah materi acara yang ditampilkan oleh sanggar-sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi ?

C. Tinjauan Pustaka

            Sebelum mengerjakan penelitian ini, terlebih dahulu penulis melakukan  tinjauan kepustakaan dengan tujuan untuk mencari dan mempelajari  literatur-literatur yang ada kaitannya dengan obyek bahasan dalam penelitian ini yaitu bagaimana eksistensi, fungsi, dan materi acara yang ditampilkan oleh sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi. Kemudian meninjau beberapa hasil penelitian dari orang-orang terdahulu yang sudah melakukan penelitian berkaitan dengan topik penelitian yang akan dilakukan nantinya, hal ini dilakukan supaya tidak terjadi tumpang tindih terhadap objek kajian.
            Dari kajian kepustakaan didapat beberapa tulisan tentang permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya dengan eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi seperti :
            Djohan Dkk (2003) dalam bukunya “ Bukittinggi dan Pariwisata, Perspektif Ketenagakerjaan “. Bentuk dari penulisannya merupakan bunga rampai dari isu ketenagakerjaan sektor pariwisata di Sumatera Barat khususnya Kota Bukittinggi, dengan lingkup pembahasan dari beberapa aspek, yaitu aspek ekonomi, demography, sosial dan budaya. Keempat aspek pembahasan tersebut dituangkan kedalam lima bagian penulisan, dengan rincian : Bagian pertama, merupakan pembahasan secara umum tentang pengembangan kepariwisataan di Sumatera Barat seperti karakteristik obyek wisata, wisatawan, dan aspek pendukung pariwisata seperti hotel/restoran, biro perjalanan, dan pemandu wisata. Bagian kedua, Membahas pariwisata di Kota Bukittinggi yang dilihat dari aspek ekonomi, yang dijelaskan dalam lingkup peran sektor pariwisata dalam kegiatan ekonomi Kota Bukittinggi. Sedangkan dari aspek ekonomi ketenagakerjaan dilihat berdasarkan tingkat profesionalisme tenaga kerja sektor pariwisata. Bagian  ketiga, melihat kualitas tenaga kerja sektor pariwisata di Kota Bukittinggi dari aspek demography. Pembahasan dalam bagian ini menganalisis tingkat pendidikan, yang ditamatkan, aspek mobilitas dan proses penyiapan tenaga kerja sebagai indikator pokok dalam melihat kualitas pekerja dari aspek demography (jumlah dan perkembangan penduduk). Bagian keempat, merupakan pembahasan dari aspek sosial yang melihat hubungan jaringan kerja antara pelaku industri pariwisata. Pembahasan tentang hubungan /jaringan kerja para pelaku industri pariwisata dibedakan dalam tiga hubungan yaitu; hubungan kerja dalam industri pariwisata budaya, industri pendukung pariwisata dan jaringan kerja pemerintah dan masyarakat (termasuk LSM). Bagian kelima, yang merupakan bagian akhir dalam tulisan ini membahas aspek kualitas tenaga kerja pariwisata dilihat dari dimensi budaya Minangkabau. Dalam kaitan ini, aspek budaya dihubungkan dengan pandangan hidup seseorang yang melatar belakangi asal usulnya, termasuk arti kerja, serta filosofi kehidupan masyarakat Minangkabau yang dinilai sangat mempengaruhi praktek kehidupan masyarakat di Kota Bukittinggi dalam melihat pariwisata sebagai bagian dari hidup mereka.
            Kasman (2005) dalam tesisnya “ Pertunjukan Kesenian Tradisional Kemasan Dalam Pengembangan Pariwisata di Bukittinggi”. Dalam penelitiannya membahas secara deskriptif permasalahan bentuk pertunjukan kesenian tradisional kemasan, fungsi pertunjukan kesenian tradisional kemasan dalam pengembangan pariwisata di Bukittinggi dan makna pertunjukan kesenian tradisional bagi perkembangan pariwisata budaya serta bagi masyarakat dan budaya Minangkabau.
            Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri pariwisata budaya sebagai ujung tombak pengembangan pariwisata di Bukittinggi dan menjadikan kesenian tradisional sebagai salah satu unsur industri yang menjadi bagian dari industri pariwisata. Dalam proses industri ditemui beberapa kendala dan kesenjangan yang terjadi dalam proses berintegrasi antar institusi pariwisata, komponen pariwisata dan pelaku budaya (seniman). Adanya perbedaan sikap dan pemahaman dalam industri yang berorientasi pada bisnis dan ekonomi, dalam industri pariwisata tersebut ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Hasil penelitian merumuskan bentuk pertunjukan kesenian tradisional kemasan, mengetahui fungsi pertunjukan kesenian tradisional kemasan serta melihat makna dari pertunjukan kesenian tradisional kemasan bagi masyarakat, budaya dan perkembangan pariwisata di Bukittinggi.
            Hasanudin (1999) dalam tesisnya “ Clean Tourism, Konflik, dan Komformitas. Studi Kasus Kepariwisataan di Maninjau Sumatera Barat”. Masalah yang dikaji dalam tesis ini mengenai kebijakan clean tourism pada kenyataannya didasari oleh konflik internal antara kekuatan, tuntutan, kebutuhan dan kepentingan yang disatu pihak mendukung kebijakan pengembangan pariwisata di Sumatera Barat; sementara dilain pihak ada pula kekuatan, tuntutan, kebutuhan dan kepentingan untuk menolak kebijaksanaan pengembangan pariwisata di Sumatera Barat. Dengan dasar itu, kebijakan clean tourism diasumsikan sebagai bentuk komformitas dari konflik-konflik yang mendasari kebijaksanaan pengembangan kepariwisataan di Sumatera Barat.
            Dalam tesis ini juga menjelaskan ada dua faktor tuntutan yang secara implisit terakomodasi dalam kebijakan kepariwisataan pemerintah Sumatera Barat. Tuntutan tersebut berbasis pada tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang rendah disatu pihak, dan persepsi buruk masyarakat terhadap pariwisata dipihak lain. Dualitas tuntutan tersebut mengakibatkan terjadinya konflik-konflik, dan kebijakan clean tourism itu sendiri merupakan suatu konsensus; sebagai wujud dari komformitas. Konsensus tidak serta merta menghilangkan konflik-konflik. Konflik-konflik kreatif tidak saja ada, akan tetapi diperlukan untuk menggiring konsensus politik tersebut ketaraf sintesis kultural. Fenomena tersebut merupakan realitas, dan memiliki validitas korelasional secara historis dan filosofis dengan konflik antara adat dan agama Islam, sejak awal intergrasinya pada abad ke 16, dan selama proses panjang dan lamban integrasi keduanya hingga kini.
            Tulisan-tulisan tersebut di atas, jauh berbeda dengan tulisan yang penulis ajukan dalam penelitian ini. Hal ini terlihat pada permasalahan yang akan dikaji yakni bagaimana eksistensi, fungsi, dan materi acara yang ditampilkan oleh sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi.
D. Landasan Teori
Landasan teori yang dipakai dalam penelitian eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya adalah sebagai berikut :
 Pitana, IGde dan Gayatri, Putu G. dalam bukunya Sosiologi Pariwisata. Menyatakan teori fungsionalisme-strukturalisme melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu ‘ sistem ‘ dari interaksi antar manusia dan berbagai institusinya, dan segala sesuatu disepakati secara konsensus, termasuk dalam hal nilai dan norma. Beberapa asumsi pokok teori fungsionalisme-strukturalisme adalah sebagai berikut :
1.      Masyarakat sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang interdependent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi-fungsi tertentu, yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.
2.      Setiap elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsi-fungsi dan perannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi “yang seharusnya”.
3.      Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan stabil.
4.      Berfungsinya masing-masing bagian (subsitem) dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem ada dalam equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, normal, karena semua faktor saling bertentangan telah melakukan keseimbangan (Talcott Parsons).
5.      Apabila terjadi disfungsi pada suatu bagian, maka  akan terjadi kondisi yang abnormal, sehingga keadaan equilibrium terganggu (Merton,1957). Tetapi berfungsi atau disfungsinya suatu elemen sosial pada akhirnya akan menghasilkan equilibrium baru, dalam proses self regulation (Mennel,1980).
6.      Masing-masing elemen sosial mempunyai fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi latent adalah fungsi yang tidak dirancang, tidak diharapkan, atau tidak disadari (Merton,1957).
            Teori ini dapat digunakan untuk melihat struktur-struktur yang ada dalam pemerintahan, serta fungsi masing-masing struktur dari pengelola pariwisata di Kota Bukittinggi.
Selanjutnya dalam penelitian ini juga digunakan beberapa teori hegemoni.      Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana dominasi pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata Seni dan Budaya terhadap sanggar-sanggar seni pertunjukan yang ada di Kota Bukittinggi.  Diantara teori tersebut adalah sebagai berikut :
            Menurut Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77), hegemoni adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang dinominasi atau disokong oleh kelas tertentu. Selanjutnya bagi Gramsci (dalam Barker, 2004:62), hegemoni berarti situasi dimana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan, dan terlebih lagi, dengan konsensus. Jadi praktik normal hegemoni diarena klasik rezim parlementer dicirikan dengan kombinasi kekuatan dan konsensus, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuatan yang secara berlebihan memaksakan konsensus. Sesungguhnya, usahanya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut akan tampak hadir berdasarkan atas konsensus mayoritas yang diekspresikan oleh apa yang disebut dengan organ opini publik. Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari kategori sosial-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi dimana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin (penguasa). Gramsci mendefenisikan hegemoni sebagai ‘proses berkelanjutan pembentukan dan penggulingan keseimbangan yang tidak stabil antara kepentingan kelompok-kelompok yang fundamental dan kepentingan kelompok subordinat, keseimbangan dimana kepentingan kelompok dominan hadir, namun hanya pada batas-batas tertentu.
            Menurut Strinati (2003:190), teori hegemoni Gramsci mengemukakan bahwa kelompok-kelompok subordinat menerima gagasan, nilai-nilai maupun kepemimpinan kelompok dominan tersebut bukan dikarenakan secara fisik atau mental mereka dibujuk untuk melakukannya, juga bukan dikarenakan mereka  diindoktrinasi secara ideologis, tapi karena mereka punya alasan-alasan tersendiri. Menurut Gramsci hegemoni diamankan, misalnya karena konsesi dibuat oleh kelompok dominan terhadap subordinat. Kebudayaan yang dibangun dengan hegemoni ini akan mengekspresikan kepentingan kelompok-kelompok subordinat tersebut.

E. Tujuan dan Kontribusi Penelitian
     a. Tujuan Penelitian
 Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu :
1.      Untuk mengkaji bagaimanakah eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi.
2.      Untuk mengkaji apakah fungsi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
3.      Untuk mengkaji apakah materi acara yang ditampilkan oleh sanggar-sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
b. Kontribusi Penelitian
          Ada beberapa kontribusi dari penelitian ini yaitu :
1.      Secara teoretis adalah untuk mengembangkan cakrawala keilmuan dibidang pembangunan pariwisata khususnya yang berhubungan dengan eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
2.      Secara praktis adalah untuk dapat dipakai sebagai bahan pemikiran dan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dan pengambil keputusan,  terutama pemerintah daerah dalam mengelola aset-aset pariwisata khususnya wisata budaya di Kota Bukittinggi.
Bermanfaat untuk peneliti lainnya yang akan mengkaji berbagai permasalahan pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar