Publiser :Ayurizal. S,Sn
LAPORAN PENELITIAN
EKSISTENSI SANGGAR SENI PERTUNJUKAN
DALAM PARIWISATA
BUDAYA DI KOTA
BUKITTINGGI
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota
Bukittinggi sebagai salah satu daerah tingkat II di Propinsi Sumatera Barat,
merupakan salah satu daerah tujuan wisata bagi masyarakat daerah sekitarnya,
nasional bahkan mancanegara. Sejak tanggal 11 Maret 1984 pemerintahnya
mencetuskan dan menjadikan Bukittinggi sebagai kota pariwisata. Strategi pengembangannya
diarahkan kepada kota
wisata yang bersifat ‘agamis dan adat’ hal ini sesuai dengan falsafah
masyarakat Minangkabau yaitu “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “.
Pada awalnya yaitu tahun 1984 fasilitas pendukung pariwisata sangat terbatas,
namun tekad dan usaha pemerintah Kota Bukittinggi dalam melengkapi fasilitas
itu terus berjalan. Perencanaan dalam peningkatan sarana dan prasarana
pariwisata tetap direncanakan dan dijalankan, seperti pelayanan wisata pada
objek-objek yang menjadi andalan Kota Bukittinggi. Usaha-usaha tersebut merupakan
perwujudan motto pariwisata Indonesia yang dikenal dengan ‘sapta pesona’, yaitu
aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan (Djohan, 2003:101).
Kota Bukittinggi yang disebut juga kota wisata, sebagai
daerah tujuan wisata sangat didukung oleh sumber daya alam serta aktifitas
budaya lainnya. Dengan luas wilayah 25,239 Km2, dikitari oleh gunung, bukit dan
ngarai (lembah) menambah indahnya pemandangan
sekitarnya. Kondisi ini yang mendorong masyarakat dari daerah lain
terutama propinsi tetangga seperti Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan dan daerah lainnya datang ke daerah ini untuk berwisata. Sarana dan
prasarana lain yang mendukung Bukittinggi sebagai kota wisata adalah adanya pusat-pusat wisata
budaya di sekitarnya seperti bangunan bersejarah, pasar dan sentra kerajinan
tradisional, museum, dan tempat/gedung pertunjukan kesenian tradisional.
Untuk menghidupkan sektor pariwisata, ada lima bentuk wisata yang dikembangkan pemerintah kota Bukittinggi yaitu :
wisata sejarah, wisata budaya, wisata alam, wisata konferensi dan wisata
‘pulang basamo’ (Djohan, 2003:102). Wisata sejarah mengetengahkan sejarah Bung
Hatta, sejarah Jepang, sejarah perjuangan Tuangku Imam Bonjol dengan Belanda
dan kerajaan Pagaruyung yang terletak tidak jauh dari Bukittinggi. Wisata
budaya memunculkan budaya matriakat dengan rumah gadang, seni budaya
Minangkabau, seni kerajinan khas Minangkabau dan seni pertunjukannya. Wisata
alam, dengan mengajak wisatawan menikmati alam pegunungan, ngarai Sianok dan danau Maninjau yang tidak jauh
dari Bukittinggi. Wisata konferensi merupakan wisata yang baru dikembangkan,
yaitu dengan memberikan peluang atau fasilitas untuk lembaga atau organisasi
yang ingin melakukan pertemuan. Wisata ‘pulang basamo’, adalah paket wisata
yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau yang ada diperantauan untuk
pulang kekampung secara bersama. Dalam pulang basamo ini biasanya para perantau
akan mengadakan acara yang menampilkan tari-tarian dan musik tradisional
Minangkabau dengan mengundang sanggar seni pertunjukan untuk melepas rindu
selama mereka berada di kampung halaman.
Sesuai dengan judul penelitian ini
yaitu “Eksistensi Sanggar Seni Pertunjukan Dalam Pariwisata Budaya di Kota
Bukittinggi”. Maka tulisan ini akan difokuskan pada kajian tentang eksistensi
sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi, khususnya
eksistensi sanggar seni yang mengadakan pertunjukan di Gedung pertunjukan Medan
Nan Balinduang.
Berdasarkan keputusan Walikota Bukittinggi
No. 03 tahun 2002 tanggal 5 maret 2002 tentang pembentukan Kantor Pariwisata
Seni dan Budaya yang mewadahi otonomi daerah dibidang pariwisata, maka
disusunlah Rencana Strategis (Renstra) Kantor Pariwisata Seni dan Budaya Kota Bukittinggi tahun 2002 –
2005. Penyusunan rencana strategis ini dimaksudkan untuk terciptanya komitmen
dalam rangka mendorong partisipasi dan peran serta seluruh jajaran dan unsur
masyarakat Kota Bukittinggi. Perumusan Visi dan Misi merupakan tujuan yang
terluas dan terumus yang akan dicapai dan berperan untuk memberikan arah dan
pedoman untuk terciptanya keterpaduan, kebersamaan dan tanggung jawab.
Sekaligus renstra ini dimaksudkan untuk dapat memberikan dorongan, motivasi,
pengembangan inisiatif dan kreativitas untuk mencapai keberhasilan. Kemudian
berdasarkan visi pembangunan pariwisata
Kota Bukittinggi yaitu : mewujudkan Kota
Bukittinggi menjadi daerah tujuan wisata utama Indonesia Bagian Barat dengan
menonjolkan aspek lokalitas (Adat, Agama, Seni dan Budaya daerah) serta sebagai
Home base daerah tujuan wisata
lainnya di Sumatera Barat dan Sumatera, baik untuk skala nasional maupun
internasional dengan memiliki daya kompetitif yang tinggi, sedangkan misinya
adalah :
1. Peningkatan
pendapatan perkapita masyarakat, PAD dan
devisa Negara
2. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM)
3. Pembangunan
pariwisata yang berwawasan dan ramah lingkungan
4. Penciptaan
standarisasi produk pelayanan wisata
5. Mendorong
partisipasi dan dukungan kelembagaan
6. Pemberdayaan
kemampuan seluruh komponen pendukung pariwisata (Renstra Kantor Pariwisata Seni
dan Budaya Kota Bukittinggi, 2002-2005:1-2).
Merujuk kepada Renstra, Visi dan Misi
tersebut di atas, tampaknya apa yang sudah direncanakan dalam renstra oleh
Kantor Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Bukittinggi tidak berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, antara rencana yang sudah ditetapkan dalam renstra dengan pelaksanaannya di lapangan tidak
sinergi. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam setiap pembangunan yang dilakukan,
kesenjangan ini dapat dilihat pada aplikasinya di lapangan. Dalam aplikasinya
ditemukan kendala-kendala dan permasalahan yang rumit dan hal ini menarik untuk
dikaji lebih lanjut.
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara
yang dilakukan dengan pelaku pariwisata, terutama yang bergerak dalam bidang
seni pertunjukan, ditemui beberapa masalah dalam usaha untuk melakukan dan
meningkatkan pengembangan sektor pariwisata di Kota Bukittinggi di antaranya
adalah : masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang profesional untuk
mengelola pariwisata; sosialisasi dan promosi tentang potensi kepariwisataan
khususnya wisata budaya sangat kurang; manajemen pengelolaan pariwisata belum
baik; penataan objek-objek tujuan wisata belum memadai; dan pembinaan terhadap
sanggar-sanggar seni belum maksimal. Hal ini sesuai dengan keterangan Yuliana
Rahmadeni, 35 tahun, Pimpinan sanggar Saayun Salangkah (wawancara, 27 Februari
2010), mengatakan bahwa mereka para seniman sebagai pekerja seni yang bekerja
dan tergabung dalam sanggar-sanggar seni pertunjukan belum mendapat perhatian
dan pembinaan yang serius dari pemerintah, apalagi bantuan untuk modal usaha,
bahkan karena kekurangan modal ada diantara pemilik sanggar yang terpaksa
menjual sanggarnya kepada orang lain. Padahal kontribusi mereka terhadap
pariwisata budaya khususnya seni pertunjukan dalam mengisi dan meramaikan kota Bukittinggi sebagai
daerah tujuan wisata nasional dan internasional sangat besar.
Di Kota Bukittinggi terdapat 16 buah
sanggar seni pertunjukan, tetapi hanya 5 buah sanggar seni pertunjukan yang
aktif dalam mengisi acara setiap malamnya di Gedung Pertunjukan Medan Nan
Balinduang. Tapi sarana dan prasarana gedung tidak tertata dengan baik
sebagaimana layaknya sebuah gedung pertunjukan. Mereka sudah membagi jadwal
pertunjukan setiap malamnya dan sudah punya komitmen dalam hal jumlah
pembayaran/ harga minimal yang harus dibayarkan oleh sipemakai jasa. Ironisnya
karena faktor ekonomi, diantara pemilik sanggar ada yang mengingkari
kesepakatan yang sudah dibuat, seperti masih menerima uang jasa dibawah
ketentuan yang sudah disepakati bersama. Akibatnya, persaingan yang tidak sehat terjadi di antara
mereka, Keadaan ini sampai sekarang
masih dibiarkan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota bukittinggi.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sektor
pariwisata merupakan salah satu bidang yang memiliki peran strategis tidak saja
bagi pengembangan daerah tetapi juga untuk memajukan perekonomian masyarakat.
Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja pada berbagai lini dengan jumlah besar.
Fenomena ini juga dapat dicermati pada sektor pariwisata di Bukittinggi. Di
satu sisi, daerah ini memiliki kawasan pariwisata dan seni budaya yang sudah
terkenal sejak lama. Pemerintah daerah telah pula membuat renstra serta
mencanangkan visi dan misi pembangunan pariwisata. Namun demikian, di sisi lain
renstra serta visi dan misi yang telah dicanangkan belum berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Dengan demikian, tentu saja ada sesuatu yang kurang berjalan
dan kurang berfungsi terkait dengan pengembangan sektor pariwisata di Kota Bukittinggi.
Oleh sebab itu, penelitian ini dengan judul sebagaimana dikemukakan di atas
perlu dilakukan dalam upaya mencari jawaban terhadap kendala-kendala yang
dihadapi berkaitan dengan sektor pariwisata budaya terutama eksistensi para
seniman yang tergabung dalam sanggar-sanggar seni pertunjukan di Kota
Bukittinggi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena-fenomena eksistensi
sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi, sebagaimana
yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang
dikemas dalam bentuk pertanyaan yaitu :
1. Bagaimanakah
eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi ?
2. Apakah
fungsi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi ?
3.
Apakah materi acara yang ditampilkan oleh
sanggar-sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi ?
C. Tinjauan Pustaka
Sebelum mengerjakan penelitian ini,
terlebih dahulu penulis melakukan
tinjauan kepustakaan dengan tujuan untuk mencari dan mempelajari literatur-literatur yang ada kaitannya dengan
obyek bahasan dalam penelitian ini yaitu bagaimana eksistensi, fungsi, dan
materi acara yang ditampilkan oleh sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata
budaya di kota
Bukittinggi. Kemudian meninjau beberapa hasil penelitian dari orang-orang
terdahulu yang sudah melakukan penelitian berkaitan dengan topik penelitian
yang akan dilakukan nantinya, hal ini dilakukan supaya tidak terjadi tumpang
tindih terhadap objek kajian.
Dari kajian kepustakaan didapat beberapa
tulisan tentang permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya dengan eksistensi
sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi seperti :
Djohan Dkk (2003) dalam bukunya “ Bukittinggi dan Pariwisata, Perspektif
Ketenagakerjaan “. Bentuk dari penulisannya merupakan bunga rampai dari isu
ketenagakerjaan sektor pariwisata di Sumatera Barat khususnya Kota Bukittinggi,
dengan lingkup pembahasan dari beberapa aspek, yaitu aspek ekonomi, demography,
sosial dan budaya. Keempat aspek pembahasan tersebut dituangkan kedalam lima bagian penulisan,
dengan rincian : Bagian pertama, merupakan pembahasan secara umum
tentang pengembangan kepariwisataan di Sumatera Barat seperti karakteristik
obyek wisata, wisatawan, dan aspek pendukung pariwisata seperti hotel/restoran,
biro perjalanan, dan pemandu wisata. Bagian kedua, Membahas pariwisata
di Kota Bukittinggi yang dilihat dari aspek ekonomi, yang dijelaskan dalam
lingkup peran sektor pariwisata dalam kegiatan ekonomi Kota Bukittinggi.
Sedangkan dari aspek ekonomi ketenagakerjaan dilihat berdasarkan tingkat
profesionalisme tenaga kerja sektor pariwisata. Bagian ketiga, melihat kualitas tenaga kerja
sektor pariwisata di Kota Bukittinggi dari aspek demography. Pembahasan dalam
bagian ini menganalisis tingkat pendidikan, yang ditamatkan, aspek mobilitas
dan proses penyiapan tenaga kerja sebagai indikator pokok dalam melihat
kualitas pekerja dari aspek demography (jumlah dan perkembangan penduduk).
Bagian keempat, merupakan pembahasan dari aspek sosial yang melihat
hubungan jaringan kerja antara pelaku industri pariwisata. Pembahasan tentang
hubungan /jaringan kerja para pelaku industri pariwisata dibedakan dalam tiga
hubungan yaitu; hubungan kerja dalam industri pariwisata budaya, industri
pendukung pariwisata dan jaringan kerja pemerintah dan masyarakat (termasuk
LSM). Bagian kelima, yang merupakan bagian akhir dalam tulisan ini
membahas aspek kualitas tenaga kerja pariwisata dilihat dari dimensi budaya
Minangkabau. Dalam kaitan ini, aspek budaya dihubungkan dengan pandangan hidup
seseorang yang melatar belakangi asal usulnya, termasuk arti kerja, serta
filosofi kehidupan masyarakat Minangkabau yang dinilai sangat mempengaruhi
praktek kehidupan masyarakat di Kota Bukittinggi dalam melihat pariwisata
sebagai bagian dari hidup mereka.
Kasman (2005) dalam tesisnya “ Pertunjukan Kesenian Tradisional Kemasan
Dalam Pengembangan Pariwisata di Bukittinggi”. Dalam penelitiannya membahas
secara deskriptif permasalahan bentuk pertunjukan kesenian tradisional kemasan,
fungsi pertunjukan kesenian tradisional kemasan dalam pengembangan pariwisata
di Bukittinggi dan makna pertunjukan kesenian tradisional bagi perkembangan
pariwisata budaya serta bagi masyarakat dan budaya Minangkabau.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
industri pariwisata budaya sebagai ujung tombak pengembangan pariwisata di
Bukittinggi dan menjadikan kesenian tradisional sebagai salah satu unsur
industri yang menjadi bagian dari industri pariwisata. Dalam proses industri
ditemui beberapa kendala dan kesenjangan yang terjadi dalam proses berintegrasi
antar institusi pariwisata, komponen pariwisata dan pelaku budaya (seniman).
Adanya perbedaan sikap dan pemahaman dalam industri yang berorientasi pada
bisnis dan ekonomi, dalam industri pariwisata tersebut ada pihak yang
diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Hasil penelitian merumuskan bentuk
pertunjukan kesenian tradisional kemasan, mengetahui fungsi pertunjukan kesenian
tradisional kemasan serta melihat makna dari pertunjukan kesenian tradisional
kemasan bagi masyarakat, budaya dan perkembangan pariwisata di Bukittinggi.
Hasanudin (1999) dalam tesisnya “ Clean Tourism, Konflik, dan Komformitas.
Studi Kasus Kepariwisataan di Maninjau Sumatera Barat”. Masalah yang dikaji
dalam tesis ini mengenai kebijakan clean
tourism pada kenyataannya didasari oleh konflik internal antara kekuatan,
tuntutan, kebutuhan dan kepentingan yang disatu pihak mendukung kebijakan pengembangan
pariwisata di Sumatera Barat; sementara dilain pihak ada pula kekuatan,
tuntutan, kebutuhan dan kepentingan untuk menolak kebijaksanaan pengembangan
pariwisata di Sumatera Barat. Dengan dasar itu, kebijakan clean tourism diasumsikan sebagai bentuk komformitas dari
konflik-konflik yang mendasari kebijaksanaan pengembangan kepariwisataan di
Sumatera Barat.
Dalam tesis ini juga menjelaskan ada dua
faktor tuntutan yang secara implisit terakomodasi dalam kebijakan
kepariwisataan pemerintah Sumatera Barat. Tuntutan tersebut berbasis pada
tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang rendah disatu pihak, dan persepsi
buruk masyarakat terhadap pariwisata dipihak lain. Dualitas tuntutan tersebut
mengakibatkan terjadinya konflik-konflik, dan kebijakan clean tourism itu sendiri merupakan suatu konsensus; sebagai wujud
dari komformitas. Konsensus tidak serta merta menghilangkan konflik-konflik.
Konflik-konflik kreatif tidak saja ada, akan tetapi diperlukan untuk menggiring
konsensus politik tersebut ketaraf sintesis kultural. Fenomena tersebut
merupakan realitas, dan memiliki validitas korelasional secara historis dan
filosofis dengan konflik antara adat dan agama Islam, sejak awal intergrasinya
pada abad ke 16, dan selama proses panjang dan lamban integrasi keduanya hingga
kini.
Tulisan-tulisan tersebut di atas, jauh berbeda dengan tulisan yang
penulis ajukan dalam penelitian ini. Hal ini terlihat pada permasalahan yang
akan dikaji yakni bagaimana eksistensi, fungsi, dan materi acara yang ditampilkan
oleh sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi.
D. Landasan Teori
Landasan teori yang dipakai dalam
penelitian eksistensi sanggar seni pertunjukan dalam pariwisata budaya adalah
sebagai berikut :
Pitana, IGde dan Gayatri, Putu G. dalam
bukunya Sosiologi Pariwisata.
Menyatakan teori fungsionalisme-strukturalisme melakukan analisis dengan
melihat masyarakat sebagai suatu ‘ sistem ‘ dari interaksi antar manusia dan
berbagai institusinya, dan segala sesuatu disepakati secara konsensus, termasuk
dalam hal nilai dan norma. Beberapa asumsi pokok teori
fungsionalisme-strukturalisme adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat
sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang
interdependent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi-fungsi tertentu, yang
berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.
2. Setiap
elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsi-fungsi dan
perannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi
atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem.
Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi “yang seharusnya”.
3. Kalau
suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan
stabil.
4.
Berfungsinya masing-masing bagian (subsitem)
dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem ada dalam equilibrium. Masyarakat
yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, normal, karena semua faktor
saling bertentangan telah melakukan keseimbangan (Talcott Parsons).
5. Apabila
terjadi disfungsi pada suatu bagian, maka
akan terjadi kondisi yang abnormal, sehingga keadaan equilibrium
terganggu (Merton,1957). Tetapi berfungsi atau disfungsinya suatu elemen sosial
pada akhirnya akan menghasilkan equilibrium baru, dalam proses self regulation (Mennel,1980).
6. Masing-masing
elemen sosial mempunyai fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan,
sedangkan fungsi latent adalah fungsi yang tidak dirancang, tidak diharapkan,
atau tidak disadari (Merton,1957).
Teori ini dapat digunakan untuk melihat
struktur-struktur yang ada dalam pemerintahan, serta fungsi masing-masing
struktur dari pengelola pariwisata di Kota Bukittinggi.
Selanjutnya dalam penelitian ini juga
digunakan beberapa teori hegemoni.
Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana dominasi pemerintah dalam
hal ini Dinas Pariwisata Seni dan Budaya terhadap sanggar-sanggar seni
pertunjukan yang ada di Kota Bukittinggi.
Diantara teori tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77), hegemoni
adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang dinominasi atau
disokong oleh kelas tertentu. Selanjutnya bagi Gramsci (dalam Barker, 2004:62),
hegemoni berarti situasi dimana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa
menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat
melalui kombinasi antara kekuatan, dan terlebih lagi, dengan konsensus. Jadi
praktik normal hegemoni diarena klasik rezim parlementer dicirikan dengan
kombinasi kekuatan dan konsensus, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa
adanya kekuatan yang secara berlebihan memaksakan konsensus. Sesungguhnya,
usahanya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut akan tampak hadir
berdasarkan atas konsensus mayoritas yang diekspresikan oleh apa yang disebut
dengan organ opini publik. Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari
kategori sosial-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi
dimana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin (penguasa). Gramsci
mendefenisikan hegemoni sebagai ‘proses berkelanjutan pembentukan dan
penggulingan keseimbangan yang tidak stabil antara kepentingan
kelompok-kelompok yang fundamental dan kepentingan kelompok subordinat,
keseimbangan dimana kepentingan kelompok dominan hadir, namun hanya pada
batas-batas tertentu.
Menurut Strinati (2003:190), teori hegemoni
Gramsci mengemukakan bahwa kelompok-kelompok subordinat menerima gagasan,
nilai-nilai maupun kepemimpinan kelompok dominan tersebut bukan dikarenakan
secara fisik atau mental mereka dibujuk untuk melakukannya, juga bukan
dikarenakan mereka diindoktrinasi secara
ideologis, tapi karena mereka punya alasan-alasan tersendiri. Menurut Gramsci
hegemoni diamankan, misalnya karena konsesi dibuat oleh kelompok dominan
terhadap subordinat. Kebudayaan yang dibangun dengan hegemoni ini akan
mengekspresikan kepentingan kelompok-kelompok subordinat tersebut.
E. Tujuan dan Kontribusi Penelitian
a. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah
di atas, ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu :
1.
Untuk mengkaji bagaimanakah eksistensi sanggar
seni pertunjukan dalam pariwisata budaya di kota Bukittinggi.
2.
Untuk mengkaji apakah fungsi sanggar seni
pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
3. Untuk
mengkaji apakah materi acara yang ditampilkan oleh sanggar-sanggar seni
pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
b.
Kontribusi Penelitian
Ada
beberapa kontribusi dari penelitian ini yaitu :
1. Secara
teoretis adalah untuk mengembangkan cakrawala keilmuan dibidang pembangunan
pariwisata khususnya yang berhubungan dengan eksistensi sanggar seni
pertunjukan dalam pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
2.
Secara praktis adalah untuk dapat dipakai
sebagai bahan pemikiran dan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dan
pengambil keputusan, terutama pemerintah
daerah dalam mengelola aset-aset pariwisata khususnya wisata budaya di Kota
Bukittinggi.
Bermanfaat untuk peneliti lainnya yang akan
mengkaji berbagai permasalahan pariwisata budaya di Kota Bukittinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar