Publisher : Ayurizal S.Sn
Abstrak
Pembelajaran suatu kegiatan yang penting
dalam proses pendidikan. Kegiatan pembelajaran merupakan situasi yang
berlangsung antara pendidik dengan peserta didik. Situasi itu harus dibangun
dalam suasana kesetaraan antara manusia dengan manusia, bukan antara subjek
dengan objek. Pelaksana pendidikan (guru dan administratur) sudah saatnya
melihat peserta didik sebagai salah satu subjek bukan sebagai objek.
Peserta didik adalah manusia yang semenjak
lahir telah memiliki berbagai bibit potensi maka tugas pendidik dalam
pembelajaran adalah mengembangkan bibit tersebut. Agar potensi bibit itu tidak
terkungkung dalam alam pikiran peserta didik (enkapsulasi). Untuk itu pendidik
harus memahami manusia bagaimana (peserta didik) yang dihadapinya dalam
pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak mengarahkan pengembangan potensi
dan cenderung memaksa akan mengahsilkan pribadi peserta didik yang rapuh.
Kata Kunci: potensi, peserta didik, dan pembelajaran.
A.
Pendahuluan
Pendidikan sebagai salah satu
pilar pengembangan sumber daya manusia, bermakna strategis bagi pembangunan
nasional. Masa depan bangsa sangat bergantung kepada kualitas pendidikan masa
kini. Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai upaya sadar dan terencana
untuk memuliakan harkat martabat manusia. Melalui pendidikan potensi pribadi peserta
didik dapat dikembangkan secara optimal dan utuh. Sehingga ia dapat eksis dan
berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Salah satu ciri
keberhasilan pendidikan apabila peserta didik dapat dengan tenang menghadapi
setiap masalah. Ia melakukan analisa secara jernih, dan secara matang
merumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah.
Pentingnya pendidikan
merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Pendidikan diharapkan dapat
mensejahterakan dan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi
golobalisasi. Menurut Moctar Buchori (2001) bahwa apa yang terjadi dengan
bangsa ini di masa depan, sangat tergantung kepada apa yang dilakukan sekarang
ini terhadap cara-cara mendidik generasi muda, dari pendidikan tingkat TK
sampai ke pendidikan tingkat Perguruan Tinggi.
Untuk itu berbagai upaya dilakukan demi
keberlansungan dan peningkatan mutu pendidikan, seperti membuat undang-undang
pendidikan, malengkapi sarana dan prasarana, penataran dan sertifkasi guru,
sampai pada revisi dan pergantian kurikulum. Namun tampaknya mutu pendidikan
belum seperti harapan dan bayangan, masih banyak sisi lemah yang perlu
ditingkatkan. Hal ini dikemukan Prayitno
(2005) kenyataan menunjukkan bahwa mutu pendidikan bangsa Indonesia masih
rendah, baik penilaian internasional maupun penilaian diri sendiri dalam
negeri.
Di samping persoalan kualitas
pendidikan yang menjadi delima juga prilaku dalam pendidikan. Seperti adanya
oknum guru yang melakukan pelecehan dan kekerasan terhadap peserta didiknya serta
PENTIP (pendidikan tanpa ilmu pendidikan). Beberapa kasus yang diberitakan
seperti guru menampar siswa di Makasar, ‘geng Nero’ di Jombang, tauran di
Mataram, di Padang serta kekerasan senior terhadap yunior di STPDN/IPDN dan
STIP Jakarta merupakan potret suram pendidikan Indonesia.
Kondisi ini diperparah dengan lingkungan banyaknya
masyarakat (terkadang: pejabat, politikus, dan public pigurre) yang menjadi
pelanggar nilai-nilai moral, keadilan, dan nilai adat dan agama. Sehingga sulit membedakan antara yang terdidik
dengan tidak berpendidikan. Tidak saja sikap ‘kasar’ di sekolah, tetapi setiap
hari di media massa kita disuguhi berita korupsi, ketidakadilan, pemerkosaan, dan
pristiwa pembunuhan. Potret ini seakan memperlihatkan anak bangsa sedang dalam ’ritual’
penghancuran nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai pelaku pendidikan,
harus dilihat dari sudut pendidikan. Kenapa kualitas pendidikan belum baik dan
malah dari sisi prilaku semakin menurun. Tentu ada permasalahan dalam
pengelolaan pendidikan Indonesia selama ini. Bila diperhatikan salah satu yang
masih melekat dalam pemikiran pengelola pendidikan adalah meletakkan peserta
didik sebagai objek. Pemikiran seperti itu harus diubah dimana pelajar,
pendidik, dan pengelola (administratur) sama-sama penting. Maka pelajar bukan
objek pendidikan, tetapi menjadi subjek pendidikan yang ditandai dengan
timbulnya istilah-istilah anak didik, peserta didik, dan pelajar.
Dari kondisi ini maka penting
untuk memahami peserta didik sebagai ’manusia’, sehingga dalam mengelola
pendidikan dan pembelajaran dapat diwujudkan peserta didik yang utuh. Bagaimana
memahami peserta didik selaku manusia sesungguhnya? Pembelajaran bagaimana yang
harus dilakukan?
B.
Pembahasan
Pandangan yang menganggap
bahwa pelajar sebagai objek pendidikan diawali dari asumsi filsafat Tyler yang
menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses perubahan pola tingkah laku anak.
Pandangan ini menempatkan peserta didik sebagai objek. Pandangan ini tidak
menempatkan proses pendidikan sebagai pemulia harkat martabat manusia. Berbeda
dengan pandangan Dewey yang mengkonsepsikan pendidikan sebagai proses
rekuntruksi atau reorganisasi pengalaman belajar bagi perkembangan kemampuan
untuk menggunakan pengalamannya sendiri di masa yang akan datang. Pandangan ini lebih meletakkan peserta didik
sebagai manusia yang dipersiapkan untuk menjalani dan mencapai tujuan
kehidupannya.
Bila menyimak pendapat Tyler
dan Dewey maka tampak pertentangan kaum idealis dengan realis. Kaum idealis menempatkan pelajar pada
posisi subjektif sedangkan kaum realis meletakkan pada posisi objektif. Kaum idealis menganggap manusia makhluk
unik yang dibekali jiwa atau kemampuan intelektual. Sedangkan kaum realis memandang
manusia sebagai ”mesin besar” dalam jagad raya ini, (Zais 1976: 200). Untuk itu
ada baiknya terlebih dahulu dipahami hakikat manusia.
1. Memahami Hakekat Manusia
Dalam membahas pendidikan dan
menyusun kurikulum maka perlu diketahui siapa manusia sesungguhnya? Hal ini
berkaitan dengan peserta didik adalah manusia yang menjadi salah satu komponen
penting dalam proses pembelajaran. Mengacu dengan pendapat Zais, ia mengajukan empat pertanyaan tentang hakekat
manusia, (1) apakah manusia berupa raga dan/atau raga?, (2) apakah manusia itu
tetap atau berubah?, (3) apakah manusia itu bebas atau tidak?, dan (4) apakah
manusia itu baik atau jelek?
a. Manusia Jiwa dan/atau Raga
Pandangan pertama mengatakan
bahwa manusia terdiri dari kesatuan jiwa dan raga. Asumsi ini sangat banyak
dianut, pengaruhnya terhadap kurikulum sangat luas. Karena jiwa yang
mengendalikan raga, maka kurikulum ditujukan terutama untuk melatih zat manusia
yang non materilinial, yaitu jiwa. Konten dan kegiatan-kegiatan pembelajaran
ditekankan pada pengembangan intelektual dan sipritual dengan mengabaikan
aspek-aspek fisik atau raga. Jadi yang berkaitan dengan pertumbuhan raga
diabaikan dan disiplin mental dan sipritual sangat dipentingkan dalam
perencanaan pembelajaran.
Kaum mentalis memandang
manusia dari keadaan mentalnya, mereka menginginkan pembelajaran dapat membantu
peserta didik merangkai dan menintegrasikan ide-ide dalam kesatuan yang utuh. Pembelajaran
ditekankan pada urutan-urutan dan
susunan materi yang saling terkait antara ide-ide yang terkandung dalam mata
pelajaran itu. Tujuan utama pendidikan adalah pengembangan karakter moral
sosial.
Berbeda dengan kaum fisikalis
yang memandang individu sebagai suatu organisme material. Paham fisikalis
berkaitan dengan gerakan kelimuan behaviorisme. Kaum behaviorisme
melihat hakekat manusia terbatas tingkah laku fisik yang tampak saja. Pembelajaran
yang berdasarkan pandangan ini teridiri dari urutan Stimulus-Respons
(SR) yang diiringi oleh kegiatan-kegiatan penguatan, reinforcement,
seperti terlihat pada programed instruction.
Kemudian kaum yang melihat manusia sebagai
jiwa raga suatu tingkah laku yang tidak selalu kelihatan. Menurut paham ini;
manusia merupakan suatu struktur yang sangat komplek dan kokoh yang
tingkatannya lebih tinggi dari bentuk kehidupan apapun di dunia ini dan mampu
memberikan respon terhadap lingkungannya. Peserta didik tidak dilihat sebagai
suatu eksistensi, materi, atau non-materi. Paham ini melihat manusia bukan
sekedar jiwa dan raga tetapi lebih kompleks dan canggih. Manusia adalah suatu
kesatuan jiwa dan raga.
b. Manusia Konstan atau Berubah
Pertanyaan kedua apakah
manusia konstan atau berubah membawa
implikasi yang esensial bagi kurikulum. Robert Hutchins penganut asumsi
hakekat manusia itu konstan. Katanya ‘Kita harus ingat benar bahwa bagaimanapun
bervariasinya lingkungan hidup manusia, manusia itu selalu akan turus sama
dimanapun ia berada’. Jadi pembelajaran dimanapun dan pada saat apapun harus
sama bagi setiap anak. Sementara Sedney Hook dalam Zais (1976) menolak asumsi
bahwa manusia itu konstan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
perubahan-perubahan pada kebudayaan manusia itu. Manusia tidak berubah,
katanya, kalau manusia itu sendiri tidak mengadakan perubahan.
Asumsi mana yang dipegang
seseorang pendidik sangat berpengaruh besar pada situasi pembelajaran. Kalua pendidik
berasumsi bahwa intelegensi anak tetap, maka ketika menghadapi peserta didik yang
berintelegensi rendah, ia cenderung berputus asa dan tidak berusaha mengajar
anak dengan baik, karena intelegensi anak tidak dapat diubah lagi. Implikasi
lain adalah diperlukan dua macam kurikulum, (1) kurikulum yang diperuntukkan
untuk anak-anak elit (ber- IQ tinggi) dan (2) kurikulum yang disediakan untuk
anak-anak ber-IQ rendah. Lebih tragis lagi jika dipakai asumsi genitik untuk
melindungi kurikulum dan pembelajaran. Dengan alasan beberapa peserta didik tidak
mampu belajar dengan baik karena IQ-nya rendah siapapun yang mengajarnya dan
apupun kurikulumnya.
Selain itu ada pula pandangan
yang menganggap intelegensi tergantung pada lingkungan, sehingga integensi
dapat berubah. IQ anak yang rendah bukan disebabkan genitika melainkan
potensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Skor tentang hasil tes
IQ sekedar petunjuk tingkat aktualitas pengembangannya. Untuk itu IQ dapat
dirubah dengan pengaruh lingkungan yang diciptakan melalui suasana pembelajaran.
c. Manusia Bebas atau Terikat
Pandangan yang menganggap
manusia itu bebas adalah yang tradisional dan yang baru. Kaum baru melihat
manusia sebagai sumber energi, penuntun, penentu, dan tuan terhadap diri
sendiri. Menurut Kneller dalam Ansyar
(1989) kebebasan sebagai aktor
dalam peristiwa sebab akibat dalam jagat raya ini. Aliran baru yang disuarakan
kaum eksistensialis menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan tetapi
dia sendiri adalah kebebasannya,
Aliran tradisional mengganggap
manusia tidak bebas. Sumber paham ini adalah ajaran agama (teologi Calvinist)
yang percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan. Implikasi hal ini
terhadap kurikulum dan pembelajaran cukup dalam, sebab apapun suasana belajar
yang dibuat tidak akan berhasil sebab dia bebas untuk menolaknya. Atau
diperlukan kurikulum yang pleksibel dan bervariasi sehingga memungkinkan anak
memilihnya.
Sebaliknya pandangan yang menyatakan
anak tidak bebas sama sekali, pembelajaran disusun untuk mengatur setiap anak
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan untuk dia. Paham ini
berkembang setelah munculnya behaviorisme. Sehingga pembelajaran disusun untuk
menjadi alat pengontrol dan pengatur tingkah laku anak.
Kenyataan yang ditemui manusia
(peserta didik) cenderung bebas dalam menentukan dan merancang kehidupannya ke
arah yang lebih baik. Manusia tidak pasif menghadapi berbagai persoalan, malah
berusaha mengatasi tantangan dan menaklukkan alam. Akan tetapi yang harus
diingat bahwa manusia diminta pertanggungjawaban terhadap semua perbuatannya.
Hal ini tidak lepas dari pengembangan potensi biologis dan psikologis manusia
itu sendiri.
Dengan demikian tujuan pembelajaran
adalah pengembangan potensi peserta didik melalui pemberian kebebasan
kemanusiaan yang maksimal. Tentu kebebasan dimaksud harus bertanggung jawab dan
sebatas kemampuan biologis dan psikologis. Berkaitan dengan itu menurut
Prayitno (2008) manusia sejak kelahirannya dilengkapi Allah SWT dengan
dimensi-dimensi kefitrahan, keindividuan, kesosialan, kesusilaan, dan
keberagamaan. Di samping itu juga dikarunia dengan bibit pengembangan, yakni:
daya taqwa, daya cipta, daya karsa, daya rasa, dan daya karya.
Dalam dimensi keindividuan
tampak perbedaan antara potensi peserta didik. Bahwa ada yang memiliki potensi
fisik, mental-psikologis, intelegensi, bakat, dan kemampuan yang tinggi,
sedang, dan kurang. Disinilah seorang pendidik dalam pembelajaran dapat
memahaminya, bahwa pembelajaran bukan kegiatan pemaksaan. Suasana pembelajaran
merupakan kegiatan pengembangan bibit yang dikaruniakan Allah SWT pada setiap
individu peserta didik dalam kesatuan dimensi secara dinamis.
d. Manusia Baik atau Buruk
JJ Rosseau mengagnggap manusia
pada dasarnya baik waktu diciptakan Tuhan, hidup harmonis dengan alam. Hanya
saja waktu hidup dengan manusia lain ia menjadi tidak baik. Dari paham berpikir
positif terhadap manusia maka pembelajaran disusun untuk memupuk pertumbuhan
peserta didik sejalan dengan kefitrahannya. Suasna pembelajaran yang pas dengan
ini adalah student-centered.
Kebalikannya adalah yang
melihat manusia tidak baik. Menurut Zais (1976) bahwa sumber pandangan ini dari
agama Kristen yang adanya dosa asal ketika Adam melawan Tuhan di Kebun Eden.
Pandangan ini berimplikasi pada perancangan pembelajaran bahwa kegiatan belajar
dilakukan untuk mengatasi keburukan manusia demi mencapai kebaikan.
Untuk menciptakan suasana pembelajaran
yang baik perlu merujuk empat hakekat manusia. Pembelajaran harus memperhatikan
peserta didik sebagai manusia yang perlu dimuliakan diperhatiakan potensinya bukan
sekedar raga atau jiwa saja. Mereka merupakan satu kesatuan yang utuh. Harus
dipandang sebagai manusia yang dapat berubah tidak konstan dengan keterbelakangkannya.
Peserta didik yang dapat menentukan diri dan merancang kehidupannya, ia bebas
memilih dan bertanggungjawab atas pilihannya.
Namun harus pula diketahui
bahwa manusia memiliki keterbatasan. Di mana manusia sering melihat dan
menghayati sesuatu dari pandangan kebudayaannya sendiri. Zais (1976)
menyebutnya unconsecious culturally inducedbiased, sedangkan Taba (1962)
mengistilahkan ethnocentricity dan culturally boundness.
Sehubungan pandangan ini Royce (dalam Zais) mengemukan istilah encapsulation.
2. Enkapsulasi
Salah satu tujuan pembelajaran
adalah untuk membuka cakrawala peserta didik. Peserta didik memiliki
potensi-potensi yang telah ada pada dirinya, potensi laten itu mesti dibuka
agar mereka dapat berkembang menjadi manusia yang berguna bagi diri mereka
khususnya dan bangsa secara umum. Akan tetapi terkadang manusia terjebak pada
keterbatasannya dan lingkungan budaya sendiri. Menurut Zais (1976) bahwa enkapsulasi
mengacu pada keadaan manusia tentang kebenaran persepsinya atas realita. Padahal
persepsinya terbatas, ia hanya memiliki gambaran yang tidak lengkap dan tidak
akurat tentang keadaan sebenarnya.
Keadaan ini bukan saja bersifat kultural tetapi juga fisologis dan
psikologis.
Keterbatasan fiologis berkenan dengan keterbatasan
manusia untuk melihat sekelilingnya. Manusia tidak memiliki kemampuan mendengar
lebih dari 20.000 saiker perdetik, juga tidak mampu melihat lebih dari 1/70 keseluruhan gelombang cahaya.
Kemampuan cium dan mencicipi manusia juga tidak terlalu bagus dibandingkan
mahluk lain. Kemudian manusia juga terbatas psikologis, sehingga membuat
manusia terkurung dalam “kapsulnya”. Harus ada usaha yang dilakukan sehingga
dalam penyusunan kurikulum hal-ahal yang mengungkungnya dalam kapsul dapat
dibuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar