Rabu, 07 Desember 2011

MEMAHAMI POTENSI PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN

Penulis : Dr. Adirozal, Msi
Publisher : Ayurizal S.Sn
Abstrak
Pembelajaran suatu kegiatan yang penting dalam proses pendidikan. Kegiatan pembelajaran merupakan situasi yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik. Situasi itu harus dibangun dalam suasana kesetaraan antara manusia dengan manusia, bukan antara subjek dengan objek. Pelaksana pendidikan (guru dan administratur) sudah saatnya melihat peserta didik sebagai salah satu subjek bukan sebagai objek.
Peserta didik adalah manusia yang semenjak lahir telah memiliki berbagai bibit potensi maka tugas pendidik dalam pembelajaran adalah mengembangkan bibit tersebut. Agar potensi bibit itu tidak terkungkung dalam alam pikiran peserta didik (enkapsulasi). Untuk itu pendidik harus memahami manusia bagaimana (peserta didik) yang dihadapinya dalam pembelajaran. Proses pembelajaran yang tidak mengarahkan pengembangan potensi dan cenderung memaksa akan mengahsilkan pribadi peserta didik yang rapuh.

Kata Kunci: potensi, peserta didik, dan pembelajaran.

A.   Pendahuluan
Pendidikan sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia, bermakna strategis bagi pembangunan nasional. Masa depan bangsa sangat bergantung kepada kualitas pendidikan masa kini. Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai upaya sadar dan terencana untuk memuliakan harkat martabat manusia. Melalui pendidikan potensi pribadi peserta didik dapat dikembangkan secara optimal dan utuh. Sehingga ia dapat eksis dan berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Salah satu ciri keberhasilan pendidikan apabila peserta didik dapat dengan tenang menghadapi setiap masalah. Ia melakukan analisa secara jernih, dan secara matang merumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah.
Pentingnya pendidikan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Pendidikan diharapkan dapat mensejahterakan dan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi golobalisasi. Menurut Moctar Buchori (2001) bahwa apa yang terjadi dengan bangsa ini di masa depan, sangat tergantung kepada apa yang dilakukan sekarang ini terhadap cara-cara mendidik generasi muda, dari pendidikan tingkat TK sampai ke pendidikan tingkat Perguruan Tinggi.
 Untuk itu berbagai upaya dilakukan demi keberlansungan dan peningkatan mutu pendidikan, seperti membuat undang-undang pendidikan, malengkapi sarana dan prasarana, penataran dan sertifkasi guru, sampai pada revisi dan pergantian kurikulum. Namun tampaknya mutu pendidikan belum seperti harapan dan bayangan, masih banyak sisi lemah yang perlu ditingkatkan.  Hal ini dikemukan Prayitno (2005) kenyataan menunjukkan bahwa mutu pendidikan bangsa Indonesia masih rendah, baik penilaian internasional maupun penilaian diri sendiri dalam negeri.
Di samping persoalan kualitas pendidikan yang menjadi delima juga prilaku dalam pendidikan. Seperti adanya oknum guru yang melakukan pelecehan dan kekerasan terhadap peserta didiknya serta PENTIP (pendidikan tanpa ilmu pendidikan). Beberapa kasus yang diberitakan seperti guru menampar siswa di Makasar, ‘geng Nero’ di Jombang, tauran di Mataram, di Padang serta kekerasan senior terhadap yunior di STPDN/IPDN dan STIP Jakarta merupakan potret suram pendidikan Indonesia.
 Kondisi ini diperparah dengan lingkungan banyaknya masyarakat (terkadang: pejabat, politikus, dan public pigurre) yang menjadi pelanggar nilai-nilai moral, keadilan, dan nilai adat dan agama. Sehingga sulit membedakan antara yang terdidik dengan tidak berpendidikan. Tidak saja sikap ‘kasar’ di sekolah, tetapi setiap hari di media massa kita disuguhi berita korupsi, ketidakadilan, pemerkosaan, dan pristiwa pembunuhan. Potret ini seakan memperlihatkan anak bangsa sedang dalam ’ritual’ penghancuran nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai pelaku pendidikan, harus dilihat dari sudut pendidikan. Kenapa kualitas pendidikan belum baik dan malah dari sisi prilaku semakin menurun. Tentu ada permasalahan dalam pengelolaan pendidikan Indonesia selama ini. Bila diperhatikan salah satu yang masih melekat dalam pemikiran pengelola pendidikan adalah meletakkan peserta didik sebagai objek. Pemikiran seperti itu harus diubah dimana pelajar, pendidik, dan pengelola (administratur) sama-sama penting. Maka pelajar bukan objek pendidikan, tetapi menjadi subjek pendidikan yang ditandai dengan timbulnya istilah-istilah anak didik, peserta didik, dan pelajar.
Dari kondisi ini maka penting untuk memahami peserta didik sebagai ’manusia’, sehingga dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran dapat diwujudkan peserta didik yang utuh. Bagaimana memahami peserta didik selaku manusia sesungguhnya? Pembelajaran bagaimana yang harus dilakukan?
B.   Pembahasan
Pandangan yang menganggap bahwa pelajar sebagai objek pendidikan diawali dari asumsi filsafat Tyler yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai proses perubahan pola tingkah laku anak. Pandangan ini menempatkan peserta didik sebagai objek. Pandangan ini tidak menempatkan proses pendidikan sebagai pemulia harkat martabat manusia. Berbeda dengan pandangan Dewey yang mengkonsepsikan pendidikan sebagai proses rekuntruksi atau reorganisasi pengalaman belajar bagi perkembangan kemampuan untuk menggunakan pengalamannya sendiri di masa yang akan datang.  Pandangan ini lebih meletakkan peserta didik sebagai manusia yang dipersiapkan untuk menjalani dan mencapai tujuan kehidupannya.
Bila menyimak pendapat Tyler dan Dewey maka tampak pertentangan kaum idealis dengan realis. Kaum idealis menempatkan pelajar pada posisi subjektif sedangkan kaum realis meletakkan pada posisi objektif. Kaum idealis menganggap manusia makhluk unik yang dibekali jiwa atau kemampuan intelektual. Sedangkan kaum realis memandang manusia sebagai ”mesin besar” dalam jagad raya ini, (Zais 1976: 200). Untuk itu ada baiknya terlebih dahulu dipahami hakikat manusia.
1. Memahami Hakekat Manusia
Dalam membahas pendidikan dan menyusun kurikulum maka perlu diketahui siapa manusia sesungguhnya? Hal ini berkaitan dengan peserta didik adalah manusia yang menjadi salah satu komponen penting dalam proses pembelajaran. Mengacu dengan pendapat Zais, ia  mengajukan empat pertanyaan tentang hakekat manusia, (1) apakah manusia berupa raga dan/atau raga?, (2) apakah manusia itu tetap atau berubah?, (3) apakah manusia itu bebas atau tidak?, dan (4) apakah manusia itu baik atau jelek?
a. Manusia Jiwa dan/atau Raga
Pandangan pertama mengatakan bahwa manusia terdiri dari kesatuan jiwa dan raga. Asumsi ini sangat banyak dianut, pengaruhnya terhadap kurikulum sangat luas. Karena jiwa yang mengendalikan raga, maka kurikulum ditujukan terutama untuk melatih zat manusia yang non materilinial, yaitu jiwa. Konten dan kegiatan-kegiatan pembelajaran ditekankan pada pengembangan intelektual dan sipritual dengan mengabaikan aspek-aspek fisik atau raga. Jadi yang berkaitan dengan pertumbuhan raga diabaikan dan disiplin mental dan sipritual sangat dipentingkan dalam perencanaan pembelajaran.
Kaum mentalis memandang manusia dari keadaan mentalnya, mereka menginginkan pembelajaran dapat membantu peserta didik merangkai dan menintegrasikan ide-ide dalam kesatuan yang utuh. Pembelajaran ditekankan  pada urutan-urutan dan susunan materi yang saling terkait antara ide-ide yang terkandung dalam mata pelajaran itu. Tujuan utama pendidikan adalah pengembangan karakter moral sosial.
Berbeda dengan kaum fisikalis yang memandang individu sebagai suatu organisme material. Paham fisikalis berkaitan dengan gerakan kelimuan behaviorisme. Kaum behaviorisme melihat hakekat manusia terbatas tingkah laku fisik yang tampak saja. Pembelajaran yang berdasarkan pandangan ini teridiri dari urutan Stimulus-Respons (SR) yang diiringi oleh kegiatan-kegiatan penguatan, reinforcement, seperti terlihat pada programed instruction.
 Kemudian kaum yang melihat manusia sebagai jiwa raga suatu tingkah laku yang tidak selalu kelihatan. Menurut paham ini; manusia merupakan suatu struktur yang sangat komplek dan kokoh yang tingkatannya lebih tinggi dari bentuk kehidupan apapun di dunia ini dan mampu memberikan respon terhadap lingkungannya. Peserta didik tidak dilihat sebagai suatu eksistensi, materi, atau non-materi. Paham ini melihat manusia bukan sekedar jiwa dan raga tetapi lebih kompleks dan canggih. Manusia adalah suatu kesatuan jiwa dan raga.
b. Manusia Konstan atau Berubah
Pertanyaan kedua apakah manusia konstan atau berubah membawa  implikasi yang esensial bagi kurikulum. Robert Hutchins penganut asumsi hakekat manusia itu konstan. Katanya ‘Kita harus ingat benar bahwa bagaimanapun bervariasinya lingkungan hidup manusia, manusia itu selalu akan turus sama dimanapun ia berada’. Jadi pembelajaran dimanapun dan pada saat apapun harus sama bagi setiap anak. Sementara Sedney Hook dalam Zais (1976) menolak asumsi bahwa manusia itu konstan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perubahan-perubahan pada kebudayaan manusia itu. Manusia tidak berubah, katanya, kalau manusia itu sendiri tidak mengadakan perubahan.
Asumsi mana yang dipegang seseorang pendidik sangat berpengaruh besar pada situasi pembelajaran. Kalua pendidik berasumsi bahwa intelegensi anak tetap, maka ketika menghadapi peserta didik yang berintelegensi rendah, ia cenderung berputus asa dan tidak berusaha mengajar anak dengan baik, karena intelegensi anak tidak dapat diubah lagi. Implikasi lain adalah diperlukan dua macam kurikulum, (1) kurikulum yang diperuntukkan untuk anak-anak elit (ber- IQ tinggi) dan (2) kurikulum yang disediakan untuk anak-anak ber-IQ rendah. Lebih tragis lagi jika dipakai asumsi genitik untuk melindungi kurikulum dan pembelajaran. Dengan alasan beberapa peserta didik tidak mampu belajar dengan baik karena IQ-nya rendah siapapun yang mengajarnya dan apupun kurikulumnya.
Selain itu ada pula pandangan yang menganggap intelegensi tergantung pada lingkungan, sehingga integensi dapat berubah. IQ anak yang rendah bukan disebabkan genitika melainkan potensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Skor tentang hasil tes IQ sekedar petunjuk tingkat aktualitas pengembangannya. Untuk itu IQ dapat dirubah dengan pengaruh lingkungan yang diciptakan melalui suasana pembelajaran.

c. Manusia Bebas atau Terikat
Pandangan yang menganggap manusia itu bebas adalah yang tradisional dan yang baru. Kaum baru melihat manusia sebagai sumber energi, penuntun, penentu, dan tuan terhadap diri sendiri. Menurut Kneller dalam Ansyar  (1989)  kebebasan sebagai aktor dalam peristiwa sebab akibat dalam jagat raya ini. Aliran baru yang disuarakan kaum eksistensialis menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan tetapi dia sendiri adalah kebebasannya,
Aliran tradisional mengganggap manusia tidak bebas. Sumber paham ini adalah ajaran agama (teologi Calvinist) yang percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan. Implikasi hal ini terhadap kurikulum dan pembelajaran cukup dalam, sebab apapun suasana belajar yang dibuat tidak akan berhasil sebab dia bebas untuk menolaknya. Atau diperlukan kurikulum yang pleksibel dan bervariasi sehingga memungkinkan anak memilihnya.
Sebaliknya pandangan yang menyatakan anak tidak bebas sama sekali, pembelajaran disusun untuk mengatur setiap anak untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan untuk dia. Paham ini berkembang setelah munculnya behaviorisme. Sehingga pembelajaran disusun untuk menjadi alat pengontrol dan pengatur tingkah laku anak.
Kenyataan yang ditemui manusia (peserta didik) cenderung bebas dalam menentukan dan merancang kehidupannya ke arah yang lebih baik. Manusia tidak pasif menghadapi berbagai persoalan, malah berusaha mengatasi tantangan dan menaklukkan alam. Akan tetapi yang harus diingat bahwa manusia diminta pertanggungjawaban terhadap semua perbuatannya. Hal ini tidak lepas dari pengembangan potensi biologis dan psikologis manusia itu sendiri.
Dengan demikian tujuan pembelajaran adalah pengembangan potensi peserta didik melalui pemberian kebebasan kemanusiaan yang maksimal. Tentu kebebasan dimaksud harus bertanggung jawab dan sebatas kemampuan biologis dan psikologis. Berkaitan dengan itu menurut Prayitno (2008) manusia sejak kelahirannya dilengkapi Allah SWT dengan dimensi-dimensi kefitrahan, keindividuan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Di samping itu juga dikarunia dengan bibit pengembangan, yakni: daya taqwa, daya cipta, daya karsa, daya rasa, dan daya karya.
Dalam dimensi keindividuan tampak perbedaan antara potensi peserta didik. Bahwa ada yang memiliki potensi fisik, mental-psikologis, intelegensi, bakat, dan kemampuan yang tinggi, sedang, dan kurang. Disinilah seorang pendidik dalam pembelajaran dapat memahaminya, bahwa pembelajaran bukan kegiatan pemaksaan. Suasana pembelajaran merupakan kegiatan pengembangan bibit yang dikaruniakan Allah SWT pada setiap individu peserta didik dalam kesatuan dimensi secara dinamis.
d. Manusia Baik atau Buruk
JJ Rosseau mengagnggap manusia pada dasarnya baik waktu diciptakan Tuhan, hidup harmonis dengan alam. Hanya saja waktu hidup dengan manusia lain ia menjadi tidak baik. Dari paham berpikir positif terhadap manusia maka pembelajaran disusun untuk memupuk pertumbuhan peserta didik sejalan dengan kefitrahannya. Suasna pembelajaran yang pas dengan ini adalah student-centered.
Kebalikannya adalah yang melihat manusia tidak baik. Menurut Zais (1976) bahwa sumber pandangan ini dari agama Kristen yang adanya dosa asal ketika Adam melawan Tuhan di Kebun Eden. Pandangan ini berimplikasi pada perancangan pembelajaran bahwa kegiatan belajar dilakukan untuk mengatasi keburukan manusia demi mencapai kebaikan.
Untuk menciptakan suasana pembelajaran yang baik perlu merujuk empat hakekat manusia. Pembelajaran harus memperhatikan peserta didik sebagai manusia yang perlu dimuliakan diperhatiakan potensinya bukan sekedar raga atau jiwa saja. Mereka merupakan satu kesatuan yang utuh. Harus dipandang sebagai manusia yang dapat berubah tidak konstan dengan keterbelakangkannya. Peserta didik yang dapat menentukan diri dan merancang kehidupannya, ia bebas memilih dan bertanggungjawab atas pilihannya.
Namun harus pula diketahui bahwa manusia memiliki keterbatasan. Di mana manusia sering melihat dan menghayati sesuatu dari pandangan kebudayaannya sendiri. Zais (1976) menyebutnya unconsecious culturally inducedbiased, sedangkan Taba (1962) mengistilahkan ethnocentricity dan culturally boundness. Sehubungan pandangan ini Royce (dalam Zais) mengemukan istilah encapsulation.
2. Enkapsulasi
Salah satu tujuan pembelajaran adalah untuk membuka cakrawala peserta didik. Peserta didik memiliki potensi-potensi yang telah ada pada dirinya, potensi laten itu mesti dibuka agar mereka dapat berkembang menjadi manusia yang berguna bagi diri mereka khususnya dan bangsa secara umum. Akan tetapi terkadang manusia terjebak pada keterbatasannya dan lingkungan budaya sendiri. Menurut Zais (1976) bahwa enkapsulasi mengacu pada keadaan manusia tentang kebenaran persepsinya atas realita. Padahal persepsinya terbatas, ia hanya memiliki gambaran yang tidak lengkap dan tidak akurat tentang keadaan sebenarnya.  Keadaan ini bukan saja bersifat kultural tetapi juga fisologis dan psikologis.
Keterbatasan fiologis berkenan dengan keterbatasan manusia untuk melihat sekelilingnya. Manusia tidak memiliki kemampuan mendengar lebih dari 20.000 saiker perdetik, juga tidak mampu melihat  lebih dari 1/70 keseluruhan gelombang cahaya. Kemampuan cium dan mencicipi manusia juga tidak terlalu bagus dibandingkan mahluk lain. Kemudian manusia juga terbatas psikologis, sehingga membuat manusia terkurung dalam “kapsulnya”. Harus ada usaha yang dilakukan sehingga dalam penyusunan kurikulum hal-ahal yang mengungkungnya dalam kapsul dapat dibuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar