Penulis : Widdiyanti, SSn., MSn
Publisher : Ayurizal. S.Sn
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penciptaan
Limpapeh
sebagai sebutan untuk perempuan muda Minangkabau yang beranjak dewasa. Boestami
(1992: 102) mengatakan seorang anak wanita telah berumur 15 tahun atau lebih,
masa ini bagi remaja adalah masa mempersiapkan diri untuk menjadi limpapeh. Limpapeh mempunyai garis keturunan dalam suatu pertalian darah yang
berlanjut, turun temurun menurut adat matrilineal.
Nilai-nilai budaya masa lalu yang diwariskan
oleh adat sangat kuat dalam membentuk pribadi anak gadis Minangkabau. Aspek
kehidupan gadis Minangkabau dilingkupi oleh norma, nilai
adat dan agama. Peranan adat menempatkan kedudukan perempuan Minangkabau
menjadi kukuh, kuat dan anggun. Predikat limpapeh rumah nan gadang pada
hakikatnya penggambaran tentang perempuan ideal Minangkabau yakni para
perempuan yang mampu menjaga pribadi dalam bersikap dan berprilaku dengan
mentaati aturan yang telah digariskan oleh adat dan agama.
Limpapeh rumah
nan gadang merupakan perwujudan simbolis bagi perempuan Minangkabau
yang menjaga garis keturunannya (Matrilineal). Penggambaran sikap hidup ini juga tercermin melalui tata cara mereka dalam
berbusana adat maupun busana yang dipakai sehari-hari. Tata cara berpakaian
menjadi gerbang utama untuk penilaian kepribadian sipemakainya. Pakaian adat
untuk kaum perempuan lazimnya disebut pakaian Bundo kanduang tata caranya diatur menurut adat. Adapun pakaian
adat Bundo Kanduang tersebut
terdiri dari tingkuluak atau tutup kepala, telekung, tutup
mata, baju kurung, selendang, sarung dan sandal
(Ibrahim, 1986: 26). Pakaian
adat Bundo kanduang merupakan pakaian
kebesaran yang mencerminkan posisi perempuan di Minangkabau. Unsur
persamaan tingkuluak dengan gonjong rumah adat mempunyai persamaan
simbolis yang melambangkan peranan perempuan yang penting dalam rumah gadang. Tingkuluak menjadi salah satu kelengkapan pakaian adat tradisional
Minangkabau. Tingkuluak adalah kain
penutup kepala perempuan di Minangkabau yang dipakai pada kegiatan acara adat.
Bahan yang digunakan dan fungsi yang melekat pada tingkuluak berbeda pada setiap bentuk tingkuluak dan begitu juga dengan makna yang terkandung di
dalamnya. Bagi Bundo Kanduang tingkuluak
melambangkan rasa tangung jawab, sebab dari kepala lah letaknya sebuah tangung
jawab yang besar bagi seorang Bundo Kanduang, baik terhadap
rumah tangga maupun terhadap kaum dalam rumah gadang (besar).
Masuknya pengaruh budaya global menjadi
peluang sekaligus ancaman bagi generasi muda Minangkabau. Sebagai peluang pengaruh budaya
globalisasi membuka jalan bagi anak gadis Minangkabau untuk memperoleh akses
yang setara dengan perempuan dari suku bangsa lainnya. Baik terhadap sumber
ilmu pengetahuan, ekonomi maupun terhadap sumber informasi yang sudah tersedia.
Baik dibidang dunia kerja perempuan Minangkabau sekarang sudah banyak yang
menjadi wanita karier. Tidak dapat dipungkiri bahwa sudah banyak nilai fositif
yang sudah diterima oleh perempuan Minangkabau. Nilai-nilai budaya global
sepertinya sudah tidak dapat terbendung lagi memasuki sendi-sendi kehidupan anak
gadis Minangkabau saat ini. Hal ini dapat dilihat pada perobahan cara
berpakaian yang normativ ditengah-tengah masyarakat pada sebagian anak gadis
Minangkabau yang menjadikan dirinya sebagai objek dalam perubahan ini. Dengan
berbagai kegiatan yang ada banyak lapangan kerja yang terbuka untuk perempuan,
tetapi banyak pula yang sifatnya merendahkan perempuan, seperti ditegaskan Naim
(2006: 69) dengan berbagai kegiatan dibidang pembangunan banyak lapangan kerja
yang terbuka untuk perempuan, tetapi banyak pula yang sifatnya merendahkan
derajat wanita, seperti dibidang hiburan, keperiwisataan ataupun fasilitas
pablik (jadi penjaga wc, tukang sapu jalan, tukang parkir, kernet bis, dsb).
Sebagai ancaman budaya global terhadap anak gadis Minangkabau saat ini, dapat dilihat pada pola
pergaulan yang sudah mengglobal berkat dukungan berbagai ragam sarana telekomunikasi
dan informasi. Hal itu menyebabkan banyak kalangan anak muda yang berbuat
semaunya dan cuek terhadap nilai-nilai adat dan budaya yang telah mapan. Seperti
yang diungkapkan Ronidin (2006: 43) bahwa
Pada masa dulu hubungan remaja putra dan putri berbeda dengan sekarang,
dulu tidak ada kawula muda yang berani mempertontonkan kemesraannya di depan
umum, tapi sekarang hal tersebut telah menjadi biasa, dalam berbusana, kalau
dulu gadis Minangkabau masih sungkan berpakaian minim, ketat, dan transparan,
tetapi sekarang hal itu sudah menjadi budaya yang harus ditiru agar tampil
modis atau trendi. Prilaku gadis
Minangkabau yang ingin mengkuti perkembangan, ingin bebas dan tidak mau diatur,
serta terbawa arus budaya barat. Namun perlu ditegaskan tidak semua gadis
Minangkabau mengikuti budaya ini hanya sebagain kecil saja, sedangkan yang lain
masih menghargai budayanya. Tetapi bagi gadis-gadis Minangkabau
yang seharusnya menjadi limpapeh dan
harapan dalam keluarganya, sekarang terbelit persoalan yang dibuatnya sendiri
dan seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, Gadis Minangkabau yang seharusnya
menjaga diri dari fitnah dunia modern, justru malah berbuat sebaliknya.
Minangkabau sebagai negeri yang berfilosofi
Adat Basandi Syara’dan Syarak Basandi
Kitabullah, fenomena gadis berpakaian minim seharusnya tidak perlu terjadi.
Ini semua terjadi akibat pergeseran nilai dan kemajuan zaman yang tidak bisa
dihindari. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap peran mamak, orang tua, guru dan masyarakat
yang juga mengalami pergeseran. Pengaruh ini juga terjadi terhadap peran limpapeh atau anak gadis Minangkabau.
Penyebaran budaya asing dan dampak
kemajuan teknologi terus memberi dampak
terhadap perkembangan mentalitas anak gadis di Minangkabau. Pada zaman modern para perempuan Minangkabau tidak lagi mau terlalu
terikat dengan ajaran adat yang sudah diwariskan, mereka ingin hidup lebih
bebas dan mandiri. Mereka menjadi perempuan modern sesuai dengan tuntutan
zaman. Salah satunya adalah pilihan untuk menjadi perempuan karir, seperti
ungkapan Naim (2006:
69), Citra Bundo kanduang dari masa
ke masa sudah mulai mengalami perubahan sesuai dengan kondisi zaman, perubahan
ini sekaligus memunculkan pemaknaan baru terhadap citra Bundo kanduang masa kini menjadi yang bersifat pelengkap penderita,
bukan lagi penentu. Citra bundo kanduang sekarang
tidak lagi mempunyai kepribadian dan keanggunan tersendiri, tapi telah bergayut
kepada sistem yang berlaku secara nasional. Perempuan Minangkabau masa kini
sudah menyatu dengan perempuan Indonesia, sehinga ciri khas dari perempuan
Minangkabau hampir tidak kelihatan lagi, pada cara berpakaian.
Capaian yang diinginkan perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi
dengan apa yang dicapai perempuan dari suku lainnya. Keinginan untuk dapat
meraih ke hidupan yang lebih maju tanpa dihalangi oleh masalah geografis. Pola
pikir mereka sudah maju dan mulai bisa mengungkapkan pikiran secara bebas dan
terbuka malahan cenderung berseberangan dengan tradisi. Perubahan inilah yang
penulis angkat kedalam karya kriya seni tekstil, dengan tema limpapeh antara tradisi dan modernisasi.
Berangkat dari keberagaman citra kehidupan perempuan
Minangkabau dalam mengekspresikan diri berintegrasi dalam kehidupan
bermasyarakat dengan segala fenomena yang ada di lingkungannya. Citra-citra
tersebut menggambarkan perempuan ideal sesuai dengan aturan-aturan normatif
adat Minangkabau. Di sisi lain citra-citra perempuan yang telah menyerap
pengaruh modernisasi yang secara tidak sadar telah terobjektifikasi oleh
pemahaman yang dangkal akan globalisasi serta telah membuang jauh adat
(Minangkabau). Penulis memposisikan diri di sebuah “persimpangan” yang
merupakan pertemuan antara Tradisi dan Modernisasi tersebut. Penulis
berkeinginan mengangkat sebuah alternatif untuk dapat memunculkan Limpapeh sebagai individu yang otonom
dalam mengekspresikan dirinya. Maka rumusan permasalahan penciptaan ini adalah
sebagai berikut:
Bagaimana menvisualkan “limpapeh antara tradisi dan modernisasi” ke
dalam karya seni seni tekstil melalui bentuk tingkuluak yang telah dimetaforkan serta memiliki nilai estetis dan
mengandung makna filosofis, dengan menggunakan bermacam-macam tehnik dan bahan
tekstil (mixed media).
B. Tujuan dan Manfaat Penciptaan Karya
1. Tujuan.
a. Untuk
menciptakan karya kriya seni tekstil sebagai upaya untuk memahami tema Limpapeh antara Tradisi dan Modernisasi
sebagai gadis Minangkabau walaupun dengan bentuk, media dan tehnik yang berbeda
dan tetap memiliki makna filosofis agar tidak lenyap begitu saja.
b. Sebagai upaya untuk merevitalisasikan tingkuluak melalui penciptaan
Karya kriya
tekstil dengan penampilan dan bahasa yang baru sebagai
upaya untuk tetap menjaga dan mempertahankan
nilai-nilai tradisi.
2. Manfaat
a.
Diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan berolah kreatifitas dalam menciptakan karya seni tekstil yang
mengambil inspirasi dari seni budaya Minangkabau dan dapat mengugah perasaan
dan jiwa untuk selalu ingat dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi dan
hasil budaya
b. Diharapkan karya ini dapat menjadi media
komunikasi alternatif dan ruang apresiasi yang lebih luas kepada publik untuk
dapat mengenal kriya tekstil dengan sumber ide limpapeh antara Tradisi dan
Modernisasi yang ada di Minangkabau.
C. Metode Penciptaan
a. Eksplorasi
Dalam proses
penciptaan dilakukan langkah-langkah dalam usaha untuk mewujudkan karya kriya
seni tekstil yang meliputi proses yang digunakan untuk menyelesaikan karya ini.
Adapun langkah tersebut meliputi pengalian sumber penciptaan. Hal ini dilakukan
baik secara langsung maupun melalui literatur-literatur tertulis dan gambar
untuk memperoleh ide yang berhubungan dengan sumber ide.
b. Eksperimen
Pada tahap eksperimen ini, penulis melakukan
percobaan-percobaan tentang pengabungan berbagai bahan dan tehnik untuk
mewujudkan desain yang telah dipilih. Menentukan bahan dan tehnik yang paling
cocok terhadap desain yang telah ditentukan. Bahan yang digunakan seperti,
(serat alam, benang kinlon, kawat stirimin, besi, kain beludru, dan payet), tapi ada juga media lain sebagai
pelengkap.
BAB II
KONSEP PENCIPTAAN
Perwujudan karya “Limpapeh
antara Tradisi dan Modernisasi” divisualkan kedalam bentuk karya tiga
dimensi, dengan sumber ide yang berdasarkan dari bentuk tingkuluak perempuan Minangkabau yang biasanya dipakai pada
kegiatan upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, saat ini tidak semua
anak gadis Minangkabau paham dengan makna yang terkandung di pada pakaian adat tersebut.
Sebagian besar generasi muda saat ini sudah banyak yang mengikuti perkembangan
trend fashion yang ada. Mereka sudah tidak memahami yang diajarkan adat. Karya
ini menampilkan fenomena yang terjadi pada anak gadis Minangkabau saat ini,
baik dalam berpakaian yang serba minim maupun sopan santun dalam pergaulan yang
telah diatur dalam adat. Fenomena kehidupan perempuan Minangkabau antara
tradisi dan modernisasi dalam karya ini akan disajikan dalam bentuk pameran
dengan karya tiga dimensi.
Media utama yang digunakan untuk mewujudkan ide ke dalam karya seni
tekstil inil, antara lain: kawat, besi, benang kinlon, kain beludru, serat
alam, dengan mengkombinasikan teknik makrame, tapestri, payet.
A. Sumber Penciptaan
1. Seni Tekstil
Dalam proses penciptaan karya seni tekstil,
penulis menciptakan bentuk-bentuk desain baru yang memiliki nilai-nilai
ekspresi dari pembuatnya. Sebagai media ekspresi seni tekstil tidak hanya
bermain dalam segi estetis semata, tetapi bagaimana cara menyampaikan makna
dengan didukung oleh teknik-teknik yang inovatif. Dalam membuat karya seni tekstil penulis mengunakan bahan
seperti besi, kawat strimin, serat alam, benang kinlon, kain beludru sebagai
media.
Pada dasarnya tekstil sebagai bagian dari seni kriya merupakan hasil karya tangan
sehingga memiliki nilai yang tinggi seperti batik, bordir, tapestri, tapis, macramé. Sejalan dengan hal tersebut Soedarso Sp.
(2006: 107) menyatakan bahwa ‘kriya’ atau ‘craft’ atau ‘handicraft’
adalah sesuatu yang dibuat dengan tangan
dan kekriyaan yang tinggi, umumnya dibuat dengan sangat dekoratif atau secara
visual sangat indah, dan seringkali merupakan barang guna. Maka sesuai dengan
perkembangan zaman, dalam menciptakan karya seni tekstil tidak hanya mengarah
pada kebutuhan fungsi semata, tetapi juga telah banyak mengarah pada tujuan
ekspresi yang merupakan realitas yang terjadi atas dasar kebebasan berekspresi
.
2. Bentuk
Melihat persoalan
dalam penciptaan karya seni tekstil tidak lepas dari kehidupan sosial dan budaya
gadis Minangkabau dulu dan sekarang. Maka dari itu tema yang diangkat dalam
karya ini adalah tentang limpapeh rumah nan gadang atau sebutan
untuk anak gadis yang mendiami rumah gadang Minangkabau. Limpapeh antara Tradisi dan Modrenisasi yang di simbolkan kedalam
bentuk tingkuluak yang telah
dimetaforakan untuk diwujudkan menjadi sebuah karya seni yang menggambarkan
segala permasalahan sosial dan budaya di sekelilingnya. Dalam menciptakan karya seni tekstil, seorang perupa
tidak hanya menciptakan bentuk karya yang mengacu pada fungsi semata, akan
tetapi juga disertai dengan pemikiran tentang desain dan mengandung nilai
ekspresi dari pembuatnya (Soekarno 2004: 1), mengatakan bahwa desain adalah
pola rancangan yang menjadi dasar pembuatan suatu benda, seorang perancang
harus bisa mengekpresikan dirinya dengan cara menonjolkan kepribadian yang
dimiliki seseorang lewat kreasi yang dibuatnya. Maka dapat dikatakan bahwa
bentuk yang memiliki simbol akan menjembatani seniman maupun masyarakat untuk
memahami makna yang terkandung didalam karya seni, jika makna sudah mengerti
maka akan memudahkan pesan yang ingin disampaikan untuk diresapi. Supangkat
(2006: x) menegaskan Bentuk seni kontemporer dibuat setelah melewati tahap
perkembangan beserta segala eksplorasi terhadap yang disebut seni modern.
3. Warna
Warna kebudayaan
Minangkabau adalah Hitam, merah, kuning, (Darmaprawira, 2002: 167). terdapat
pada pakaian tradisional Minangkabau merupakan warna pokok Minangkabau yang
mempunyai makna dalam adat Minangkabau. Sejalan dengan hal tersebut A.A. Navis
(1984: 105) menyatakan bahwa warna dalam adat Minangkabau, warna mempunyai
perlambangan. Ada tiga macam warna pokok yang dipakai pada pakaian adat di
Minangkabau seperti:
a. Warna
kuning, dilambangkan oleh adat
Minangkabau untuk gugusan Kabupaten Tanah Datar (Luhak Tanah Datar).
Warna payung kebesaran Raja Alam adalah kuning, jadi warna kuning dimaknakan
oleh orang Minangkabau sebagai warna agung dan kebesaran.
b. Merah, Warna merah adalah warna yang pada umumnya dipakai oleh hulu
balang, bundo kanduang, penghulu dan lambang keberanaian, tahan uji dan
tanggung jawab. Warna ini perlambangan daerah luhak agam. Di Minangkabau warna
pakaian dubalang adat adalah merah
karena warna merah berarti berani, tahan uji dan bertangung jawab.
c. Hitam adalah lambang kepemimpinan dan
azas demokrasi, tahan uji dalam segala keadaan, baik hujan maupun panas. Warna
ini merupakan warna pakaian adat kebesaran di Minangkabau dan mempunyai
perlambangan dari Kabupaten Lima Puluh Kota.
4. Simbol
Seni memiliki ruang tersendiri
sebagai media untuk komunikasi dan pengambaran yang mengandung simbol dan nilai
estetis dari suatu keadaan yang terjadi pada lingkungan dimana orang tinggal.
Dalam melihat persoalan penciptaan karya kriya tekstil ini tidak lepas dari
permasalahan sosial budaya yang terdapat di Minangkabau, melalui bahasa simbol
digiring ke media tekstil untuk dijadikan sebuah karya. Mengenai
simbol ini Herusatoto (2001: 10) mengatakan bahwa: Simbol berasal dari bahasa
Yunani Symbolos yang berarti memberi
tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Lebih jauh
Liliweri (2003: 179) menegaskan simbol adalah: Berasal dari bahasa Latin symbolicum (semula dari bahasa Yunani
simbolon, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah simbol adalah ‘sesuatu’
yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukan oleh
simbol. Tanda mempunyai satu arti yang sama bagi semua orang, sedangkan simbol
mempunyai banyak arti tergantung pada siapa yang menafsirkanya.
- Landasan Penciptaan
Landasan penciptaan karya seni tekstil ini
berdasarkan penyampaian dari pesan yang memiliki makna simbolik. Dalam
pembuatan karya seni tekstil ini penulis terinspirasi dari tingkah laku ”limpapeh” atau anak gadis Minangkabau
khususnya yang disimbolkan dengan bentuk tingkuluak
tanduk, yang biasanya dipakai oleh perempuan Minangkabau dalam kegiatan
upacara adat. Perempuan Minangkabau yang masih memegang teguh adat istiadat,
dijuluki dengan sebutan limpapeh.
Perubahan tingkah laku yang terjadi pada limpapeh
ini yang menjadi inspirasi untuk penulis wujudkan kedalam karya seni tekstil
dalam bentuk tiga dimensi
Untuk memperkuat
landasan penciptaan karya ini penulis mengacu pada teori The Symbol in
Art dari Suzanne K. Langer menurut A.A.M Djelantik. Suzzane K. Langer menerangkan
definisi kesenian yang berbunyi : Art is the creation of form symbolic of
human feeling (Kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan
simbol-simbol dari perasaan manusia (Djelantik, 1999: 128). Selain itu Soedarso
Sp berpendapat, expressive form atau art symbol adalah hasil seni
itu sendiri yang kasat mata sedang symbol in art ialah arti atau
perlambang yang dimuatkan padanya (the import of an expressive form). Symbol
in art adalah simbol dalam arti lumrah, tetapi art symbol
adalah expressive form, adalah bukan sepenuhnya simbol karena ia tidak
menyatakan sesuatu dibaliknya. Symbol in art adalah sebuah metafor atau
kiasan, sedang art symbol adalah imaji yang absolut (Soedarso Sp, 2006:
40).
Kombinasi antara
serat alam dan benang kinlon yang disajikan
dalam karya ini nantinya menghasilkan tekstur halus dan kasar, gabungan
dari bahan serat alam dan benang kinlon yang dijadikan sebagai perwakilan bahan
modern dalam pembuatan karya ini. Pengabungan bahan yang dipilih dalam karya
ini dengan harapan natinya dapat menjadi dialog antara tradisi dan modernisasi
dapat tercapai.
Dalam proses menciptakan
karya dengan tema Limpapeh antara
Tradisi dan Modernisasi, penulis didasari oleh keinginan yang kuat untuk
menciptakan karya seni yang memiliki nilai keindahan serta mengandung pesan yang ingin disampaikan melalui karya
tiga dimensi. Ide ini muncul selain
dorongan dari dalam diri penulis, juga dipengaruhi oleh faktor diluar diri
penulis yaitu, seperti pengamatan penulis terhadap fenomena yang terjadi ditanah
kelahiran penulis, dimana sekarang sudah munculnya gejala meniggalkan
nilai-nilai tradisi dan budaya, seperti dalam hal berpakaian dan bertingkah
laku pada sebagian gadis Minangkabau yang mengikuti trend.
Kegelisahan
melihat realita yang ada di tengah-tengah masyarakat lingkungan penulis,
mendorong untuk menciptakan sebuah bentuk karya seni tekstil yang bersumber
dari perwujudan kearifan lokal. Perwujudan dari karya ini melalui teknik
mengabungkan dan mengkombinasikan dari berbagai bahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar