Selasa, 06 Desember 2011

“Limpapeh Antara Tradisi dan Modernisasi”



Penulis :  Widdiyanti, SSn., MSn
Publisher : Ayurizal. S.Sn


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penciptaan
            Limpapeh sebagai sebutan untuk perempuan muda Minangkabau yang beranjak dewasa. Boestami (1992: 102) mengatakan seorang anak wanita telah berumur 15 tahun atau lebih, masa ini bagi remaja adalah masa mempersiapkan diri untuk menjadi limpapeh. Limpapeh mempunyai garis keturunan dalam suatu pertalian darah yang berlanjut, turun temurun menurut adat matrilineal.  
             Nilai-nilai budaya masa lalu yang diwariskan oleh adat sangat kuat dalam membentuk pribadi anak gadis Minangkabau. Aspek kehidupan gadis Minangkabau dilingkupi oleh norma, nilai adat dan agama. Peranan adat menempatkan kedudukan perempuan Minangkabau menjadi kukuh, kuat dan anggun.  Predikat limpapeh rumah nan gadang pada hakikatnya penggambaran tentang perempuan ideal Minangkabau yakni para perempuan yang mampu menjaga pribadi dalam bersikap dan berprilaku dengan mentaati aturan yang telah digariskan oleh adat dan agama.
Limpapeh rumah nan gadang merupakan perwujudan simbolis bagi perempuan Minangkabau yang menjaga garis keturunannya (Matrilineal). Penggambaran sikap hidup ini juga  tercermin melalui tata cara mereka dalam berbusana adat maupun busana yang dipakai sehari-hari. Tata cara berpakaian menjadi gerbang utama untuk penilaian kepribadian sipemakainya. Pakaian adat untuk kaum perempuan lazimnya disebut pakaian Bundo kanduang tata caranya diatur menurut adat. Adapun pakaian adat Bundo Kanduang tersebut terdiri dari tingkuluak atau tutup kepala, telekung, tutup mata, baju kurung, selendang, sarung dan sandal  (Ibrahim, 1986: 26). Pakaian adat Bundo kanduang merupakan pakaian kebesaran yang mencerminkan posisi perempuan di Minangkabau. Unsur persamaan tingkuluak dengan gonjong rumah adat mempunyai persamaan simbolis yang melambangkan peranan perempuan yang penting dalam rumah gadang. Tingkuluak menjadi salah satu kelengkapan pakaian adat tradisional Minangkabau. Tingkuluak adalah kain penutup kepala perempuan di Minangkabau yang dipakai pada kegiatan acara adat. Bahan yang digunakan dan fungsi yang melekat pada tingkuluak berbeda pada setiap bentuk tingkuluak dan begitu juga dengan makna yang terkandung di dalamnya. Bagi Bundo Kanduang tingkuluak melambangkan rasa tangung jawab, sebab dari kepala lah letaknya sebuah tangung jawab yang besar bagi seorang Bundo Kanduang, baik terhadap rumah tangga maupun terhadap kaum dalam rumah gadang (besar).
Masuknya pengaruh budaya global menjadi peluang sekaligus ancaman bagi generasi muda Minangkabau. Sebagai peluang pengaruh budaya globalisasi membuka jalan bagi anak gadis Minangkabau untuk memperoleh akses yang setara dengan perempuan dari suku bangsa lainnya. Baik terhadap sumber ilmu pengetahuan, ekonomi maupun terhadap sumber informasi yang sudah tersedia. Baik dibidang dunia kerja perempuan Minangkabau sekarang sudah banyak yang menjadi wanita karier. Tidak dapat dipungkiri bahwa sudah banyak nilai fositif yang sudah diterima oleh perempuan Minangkabau. Nilai-nilai budaya global sepertinya sudah tidak dapat terbendung lagi memasuki sendi-sendi kehidupan anak gadis Minangkabau saat ini. Hal ini dapat dilihat pada perobahan cara berpakaian yang normativ ditengah-tengah masyarakat pada sebagian anak gadis Minangkabau yang menjadikan dirinya sebagai objek dalam perubahan ini. Dengan berbagai kegiatan yang ada banyak lapangan kerja yang terbuka untuk perempuan, tetapi banyak pula yang sifatnya merendahkan perempuan, seperti ditegaskan Naim (2006: 69) dengan berbagai kegiatan dibidang pembangunan banyak lapangan kerja yang terbuka untuk perempuan, tetapi banyak pula yang sifatnya merendahkan derajat wanita, seperti dibidang hiburan, keperiwisataan ataupun fasilitas pablik (jadi penjaga wc, tukang sapu jalan, tukang parkir, kernet bis, dsb).
  Sebagai ancaman budaya global terhadap anak gadis Minangkabau saat ini, dapat dilihat pada pola pergaulan yang sudah mengglobal berkat dukungan berbagai ragam sarana telekomu­nikasi dan informasi. Hal itu menyebabkan banyak kalangan anak muda yang berbuat semaunya dan cuek terhadap nilai-nilai adat dan budaya yang telah mapan. Seperti yang diungkapkan Ronidin (2006: 43) bahwa  Pada masa dulu hubungan remaja putra dan putri berbeda dengan sekarang, dulu tidak ada kawula muda yang berani mempertontonkan kemesraannya di depan umum, tapi sekarang hal tersebut telah menjadi biasa, dalam berbusana, kalau dulu gadis Minangkabau masih sungkan berpakaian minim, ketat, dan transparan, tetapi sekarang hal itu sudah menjadi budaya yang harus ditiru agar tampil modis atau trendi. Prilaku gadis Minangkabau yang ingin mengkuti perkembangan, ingin bebas dan tidak mau diatur, serta terbawa arus budaya barat. Namun perlu ditegaskan tidak semua gadis Minangkabau mengikuti budaya ini hanya sebagain kecil saja, sedangkan yang lain masih menghargai budayanya. Tetapi bagi gadis-gadis Minangkabau yang seharusnya menjadi limpapeh dan harapan dalam keluarganya, sekarang terbelit persoalan yang dibuatnya sendiri dan seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, Gadis Minangkabau yang seharusnya menjaga diri dari fitnah dunia modern, justru malah berbuat sebaliknya.
Minangkabau sebagai negeri yang berfilosofi Adat Basandi Syara’dan Syarak Basandi Kitabullah, fenomena gadis berpakaian minim seharusnya tidak perlu terjadi. Ini semua terjadi akibat pergeseran nilai dan kemajuan zaman yang tidak bisa dihindari. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap  peran  mamak, orang tua, guru dan masyarakat yang juga mengalami pergeseran. Pengaruh ini juga terjadi terhadap peran limpapeh atau anak gadis Minangkabau.
            Penyebaran budaya asing dan dampak kemajuan teknologi terus  memberi dampak terhadap perkembangan mentalitas anak gadis di Minangkabau. Pada zaman modern para perempuan Minangkabau tidak lagi mau terlalu terikat dengan ajaran adat yang sudah diwariskan, mereka ingin hidup lebih bebas dan mandiri. Mereka menjadi perempuan modern sesuai dengan tuntutan zaman. Salah satunya adalah pilihan untuk menjadi perempuan karir, seperti ungkapan Naim (2006: 69), Citra Bundo kanduang dari masa ke masa sudah mulai mengalami perubahan sesuai dengan kondisi zaman, perubahan ini sekaligus memunculkan pemaknaan baru terhadap citra Bundo kanduang masa kini menjadi yang bersifat pelengkap penderita, bukan lagi penentu. Citra bundo kanduang sekarang tidak lagi mempunyai kepribadian dan keanggunan tersendiri, tapi telah bergayut kepada sistem yang berlaku secara nasional. Perempuan Minangkabau masa kini sudah menyatu dengan perempuan Indonesia, sehinga ciri khas dari perempuan Minangkabau hampir tidak kelihatan lagi, pada cara berpakaian.
Capaian yang diinginkan perempuan Minangkabau tidak ada bedanya lagi dengan apa yang dicapai perempuan dari suku lainnya. Keinginan untuk dapat meraih ke hidupan yang lebih maju tanpa dihalangi oleh masalah geografis. Pola pikir mereka sudah maju dan mulai bisa mengungkapkan pikiran secara bebas dan terbuka malahan cenderung berseberangan dengan tradisi. Perubahan inilah yang penulis angkat kedalam karya kriya seni tekstil,  dengan tema limpapeh antara tradisi dan modernisasi.
Berangkat dari keberagaman citra kehidupan perempuan Minangkabau dalam mengekspresikan diri berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat dengan segala fenomena yang ada di lingkungannya. Citra-citra tersebut menggambarkan perempuan ideal sesuai dengan aturan-aturan normatif adat Minangkabau. Di sisi lain citra-citra perempuan yang telah menyerap pengaruh modernisasi yang secara tidak sadar telah terobjektifikasi oleh pemahaman yang dangkal akan globalisasi serta telah membuang jauh adat (Minangkabau). Penulis memposisikan diri di sebuah “persimpangan” yang merupakan pertemuan antara Tradisi dan Modernisasi tersebut. Penulis berkeinginan mengangkat sebuah alternatif untuk dapat memunculkan Limpapeh sebagai individu yang otonom dalam mengekspresikan dirinya. Maka rumusan permasalahan penciptaan ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana menvisualkan “limpapeh antara tradisi dan modernisasi” ke dalam karya seni seni tekstil melalui bentuk tingkuluak yang telah dimetaforkan serta memiliki nilai estetis dan mengandung makna filosofis, dengan menggunakan bermacam-macam tehnik dan bahan tekstil (mixed media).

B. Tujuan dan Manfaat Penciptaan Karya

1.  Tujuan.
a. Untuk menciptakan karya kriya seni tekstil sebagai upaya untuk memahami tema Limpapeh antara Tradisi dan Modernisasi sebagai gadis Minangkabau walaupun dengan bentuk, media dan tehnik yang berbeda dan tetap memiliki makna filosofis agar tidak lenyap begitu saja.
b.   Sebagai upaya untuk merevitalisasikan tingkuluak melalui penciptaan
Karya kriya tekstil dengan penampilan dan bahasa yang baru sebagai  
      upaya untuk tetap menjaga dan mempertahankan nilai-nilai tradisi.
2.  Manfaat         
a.      Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berolah kreatifitas dalam    menciptakan karya seni tekstil yang mengambil inspirasi dari seni budaya Minangkabau dan dapat mengugah perasaan dan jiwa untuk selalu ingat dan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi dan hasil budaya
b.   Diharapkan karya ini dapat menjadi media komunikasi alternatif dan ruang apresiasi yang lebih luas kepada publik untuk dapat mengenal kriya tekstil dengan sumber ide limpapeh  antara Tradisi dan Modernisasi yang ada di Minangkabau.


C. Metode Penciptaan
a. Eksplorasi
Dalam proses penciptaan dilakukan langkah-langkah dalam usaha untuk mewujudkan karya kriya seni tekstil yang meliputi proses yang digunakan untuk menyelesaikan karya ini. Adapun langkah tersebut meliputi pengalian sumber penciptaan. Hal ini dilakukan baik secara langsung maupun melalui literatur-literatur tertulis dan gambar untuk memperoleh ide yang berhubungan dengan sumber ide.
b. Eksperimen
 Pada tahap eksperimen ini, penulis melakukan percobaan-percobaan tentang pengabungan berbagai bahan dan tehnik untuk mewujudkan desain yang telah dipilih. Menentukan bahan dan tehnik yang paling cocok terhadap desain yang telah ditentukan. Bahan yang digunakan seperti, (serat alam, benang kinlon, kawat stirimin, besi, kain beludru, dan payet),  tapi ada juga media lain sebagai pelengkap. 









BAB II
 KONSEP PENCIPTAAN

      Perwujudan karya “Limpapeh antara Tradisi dan Modernisasi” divisualkan kedalam bentuk karya tiga dimensi, dengan sumber ide yang berdasarkan dari bentuk tingkuluak perempuan Minangkabau yang biasanya dipakai pada kegiatan upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, saat ini tidak semua anak gadis Minangkabau paham dengan makna yang terkandung di pada pakaian adat tersebut. Sebagian besar generasi muda saat ini sudah banyak yang mengikuti perkembangan trend fashion yang ada. Mereka sudah tidak memahami yang diajarkan adat. Karya ini menampilkan fenomena yang terjadi pada anak gadis Minangkabau saat ini, baik dalam berpakaian yang serba minim maupun sopan santun dalam pergaulan yang telah diatur dalam adat. Fenomena kehidupan perempuan Minangkabau antara tradisi dan modernisasi dalam karya ini akan disajikan dalam bentuk pameran dengan karya tiga dimensi.
Media utama yang digunakan untuk mewujudkan ide ke dalam karya seni tekstil inil, antara lain: kawat, besi, benang kinlon, kain beludru, serat alam, dengan mengkombinasikan teknik makrame, tapestri, payet.

A. Sumber Penciptaan
1.  Seni Tekstil
Dalam proses penciptaan karya seni tekstil, penulis menciptakan bentuk-bentuk desain baru yang memiliki nilai-nilai ekspresi dari pembuatnya. Sebagai media ekspresi seni tekstil tidak hanya bermain dalam segi estetis semata, tetapi bagaimana cara menyampaikan makna dengan didukung oleh teknik-teknik yang inovatif. Dalam membuat karya seni tekstil penulis mengunakan bahan seperti besi, kawat strimin, serat alam, benang kinlon, kain beludru sebagai media. Pada dasarnya tekstil sebagai bagian dari seni kriya merupakan hasil karya tangan sehingga memiliki nilai yang tinggi seperti batik, bordir, tapestri, tapis, macramé.  Sejalan dengan hal tersebut Soedarso Sp. (2006: 107) menyatakan bahwa ‘kriya’ atau ‘craft’ atau ‘handicraft’ adalah  sesuatu yang dibuat dengan tangan dan kekriyaan yang tinggi, umumnya dibuat dengan sangat dekoratif atau secara visual sangat indah, dan seringkali merupakan barang guna. Maka sesuai dengan perkembangan zaman, dalam menciptakan karya seni tekstil tidak hanya mengarah pada kebutuhan fungsi semata, tetapi juga telah banyak mengarah pada tujuan ekspresi yang merupakan realitas yang terjadi atas dasar kebebasan berekspresi .
2.   Bentuk
Melihat persoalan dalam penciptaan karya seni tekstil tidak lepas dari kehidupan sosial dan budaya gadis Minangkabau dulu dan sekarang. Maka dari itu tema yang diangkat dalam karya ini adalah  tentang limpapeh rumah nan gadang atau sebutan untuk anak gadis yang mendiami rumah gadang Minangkabau. Limpapeh antara Tradisi dan Modrenisasi yang di simbolkan kedalam bentuk tingkuluak yang telah dimetaforakan untuk diwujudkan menjadi sebuah karya seni yang menggambarkan segala permasalahan sosial dan budaya di sekelilingnya. Dalam menciptakan karya seni tekstil, seorang perupa tidak hanya menciptakan bentuk karya yang mengacu pada fungsi semata, akan tetapi juga disertai dengan pemikiran tentang desain dan mengandung nilai ekspresi dari pembuatnya (Soekarno 2004: 1), mengatakan bahwa desain adalah pola rancangan yang menjadi dasar pembuatan suatu benda, seorang perancang harus bisa mengekpresikan dirinya dengan cara menonjolkan kepribadian yang dimiliki seseorang lewat kreasi yang dibuatnya. Maka dapat dikatakan bahwa bentuk yang memiliki simbol akan menjembatani seniman maupun masyarakat untuk memahami makna yang terkandung didalam karya seni, jika makna sudah mengerti maka akan memudahkan pesan yang ingin disampaikan untuk diresapi. Supangkat (2006: x) menegaskan Bentuk seni kontemporer dibuat setelah melewati tahap perkembangan beserta segala eksplorasi terhadap yang disebut seni modern.
3. Warna 
  Warna kebudayaan Minangkabau adalah Hitam, merah, kuning, (Darmaprawira, 2002: 167). terdapat pada pakaian tradisional Minangkabau merupakan warna pokok Minangkabau yang mempunyai makna dalam adat Minangkabau. Sejalan dengan hal tersebut A.A. Navis (1984: 105) menyatakan bahwa warna dalam adat Minangkabau, warna mempunyai perlambangan. Ada tiga macam warna pokok yang dipakai pada pakaian adat di Minangkabau seperti:
a. Warna kuning, dilambangkan oleh adat Minangkabau untuk gugusan Kabupaten Tanah Datar (Luhak Tanah Datar). Warna payung kebesaran Raja Alam adalah kuning, jadi warna kuning dimaknakan oleh orang Minangkabau sebagai warna agung dan kebesaran.
 b. Merah, Warna merah adalah warna yang pada umumnya dipakai oleh hulu balang, bundo kanduang, penghulu dan lambang keberanaian, tahan uji dan tanggung jawab. Warna ini perlambangan daerah luhak agam. Di Minangkabau warna pakaian dubalang adat adalah merah karena warna merah berarti berani, tahan uji dan bertangung jawab.
c. Hitam adalah lambang kepemimpinan dan azas demokrasi, tahan uji dalam segala keadaan, baik hujan maupun panas. Warna ini merupakan warna pakaian adat kebesaran di Minangkabau dan mempunyai perlambangan dari Kabupaten Lima Puluh Kota.
4. Simbol
Seni memiliki ruang tersendiri sebagai media untuk komunikasi dan pengambaran yang mengandung simbol dan nilai estetis dari suatu keadaan yang terjadi pada lingkungan dimana orang tinggal. Dalam melihat persoalan penciptaan karya kriya tekstil ini tidak lepas dari permasalahan sosial budaya yang terdapat di Minangkabau, melalui bahasa simbol digiring ke media tekstil untuk dijadikan sebuah karya. Mengenai simbol ini Herusatoto (2001: 10) mengatakan bahwa: Simbol berasal dari bahasa Yunani Symbolos yang berarti memberi tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Lebih jauh Liliweri (2003: 179) menegaskan simbol adalah: Berasal dari bahasa Latin symbolicum (semula dari bahasa Yunani simbolon, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah simbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukan oleh simbol. Tanda mempunyai satu arti yang sama bagi semua orang, sedangkan simbol mempunyai banyak arti tergantung pada siapa yang menafsirkanya.   

  1. Landasan Penciptaan
 Landasan penciptaan karya seni tekstil ini berdasarkan penyampaian dari pesan yang memiliki makna simbolik. Dalam pembuatan karya seni tekstil ini penulis terinspirasi dari tingkah laku ”limpapeh” atau anak gadis Minangkabau khususnya yang disimbolkan dengan bentuk tingkuluak tanduk, yang biasanya dipakai oleh perempuan Minangkabau dalam kegiatan upacara adat. Perempuan Minangkabau yang masih memegang teguh adat istiadat, dijuluki dengan sebutan limpapeh. Perubahan tingkah laku yang terjadi pada limpapeh ini yang menjadi inspirasi untuk penulis wujudkan kedalam karya seni tekstil dalam bentuk tiga dimensi
Untuk memperkuat landasan penciptaan karya ini penulis mengacu pada teori The Symbol in Art dari Suzanne K. Langer menurut A.A.M Djelantik. Suzzane K. Langer menerangkan definisi kesenian yang berbunyi : Art is the creation of form symbolic of human feeling (Kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan simbol-simbol dari perasaan manusia (Djelantik, 1999: 128). Selain itu Soedarso Sp berpendapat, expressive form atau art symbol adalah hasil seni itu sendiri yang kasat mata sedang symbol in art ialah arti atau perlambang yang dimuatkan padanya (the import of an expressive form). Symbol in art adalah simbol dalam arti lumrah, tetapi art symbol adalah expressive form, adalah bukan sepenuhnya simbol karena ia tidak menyatakan sesuatu dibaliknya. Symbol in art adalah sebuah metafor atau kiasan, sedang art symbol adalah imaji yang absolut (Soedarso Sp, 2006: 40).
Kombinasi antara serat alam dan benang kinlon yang disajikan  dalam karya ini nantinya menghasilkan tekstur halus dan kasar, gabungan dari bahan serat alam dan benang kinlon yang dijadikan sebagai perwakilan bahan modern dalam pembuatan karya ini. Pengabungan bahan yang dipilih dalam karya ini dengan harapan natinya dapat menjadi dialog antara tradisi dan modernisasi dapat tercapai.
Dalam proses menciptakan karya dengan tema Limpapeh antara Tradisi dan Modernisasi, penulis didasari oleh keinginan yang kuat untuk menciptakan karya seni yang memiliki nilai keindahan serta mengandung  pesan yang ingin disampaikan melalui karya tiga dimensi. Ide ini muncul selain dorongan dari dalam diri penulis, juga dipengaruhi oleh faktor diluar diri penulis yaitu, seperti pengamatan penulis terhadap fenomena yang terjadi ditanah kelahiran penulis, dimana sekarang sudah munculnya gejala meniggalkan nilai-nilai tradisi dan budaya, seperti dalam hal berpakaian dan bertingkah laku pada sebagian gadis Minangkabau yang mengikuti trend.
Kegelisahan melihat realita yang ada di tengah-tengah masyarakat lingkungan penulis, mendorong untuk menciptakan sebuah bentuk karya seni tekstil yang bersumber dari perwujudan kearifan lokal. Perwujudan dari karya ini melalui teknik mengabungkan dan mengkombinasikan dari berbagai bahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar